Follow Us @soratemplates

Sunday 19 October 2014

Kritisisme Immanuel Kant

(pict: knt.jpg)




Filsafat Kant merupakan titik tolak periode baru bagi filsafat Barat. Ia mengatasi dan menyimpulkan aliran Rasionalisme dan Empirisme, yang dibantah oleh Copleston VI. Dari satu pihak ia mempertahankan obyektifitas, universalitas, dan keniscayaan. Dalam filsafat Kant, tekanan yang utama terletak pada kegiatan atau pengertian dan penilaian manusia. Bukan seperti empirisme yang menekankan pada aspek psikologi, melainkan sebagai analisa kritis, pada pemahaman Kant yang baru, dan sering disebut “revolusi Kopernikus yang kedua”.
Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat sebelah dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Kant tidak menentang adanya akal murni, ia hanya menunjukkan bahwa akal murni itu terbatas. Akal murni menghasilkan pengetahuan tanpa dasar indrawi atau independen dari alat pancaindra.
Kant dalam argumennya, bahwa akal dipandu oleh tiga ide transcendental, yaitu ide psikologis yang disebut jiwa, ide dunia, dan ide tentang Tuhan. Ketiganya tersebut memiliki fungsi masing-masing, yaitu “ide jiwa” menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah yang merupakan cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang psikis, “ide dunia” menyatakan segala gejala jasmaniah, “ide Tuhan” mendasari segala gejala, segala yang ada, baik batiniah maupun yang lahiriah (Ahmad Tafsir, 2005:150-151, lihat Mircea Eliade,t.:247)[1]
Kant mengarang macam-macam kritik mengenai akalbudi, kehendak, rasa, dan agama. Dalam karyanya yang sering disebut metafisika. Menurutnya Metafisika merupakan uraian sistematis mengenai keseluruhan pengertian filosofis yang dapat dicapai. Ia berpendapat bahwa pada sekurang-kurangnya pada prinsipnya mungkin untuk memperkembangkan suatu metafisika sistematis yang lengkap. Namun Kant mulai meragukan kemungkinan dan kompetensi metafisik, sebab menurut dia metafisik tidak pernah menemukan metode ilmiah yang pasti untuk memecahkan masalahnya, maka perlu diselidiki dahulu kemampuan dan batas-batas akal-budi.
Immannuel Kant membedakan akal (vertstand) dari rasio dan budi (vernuft). Tugas akal merupakan yang mengatur data-data indrawi, yaitu dengan mengemukakan “putusan-putusan”. Sebgaimana kita melihat sesuatu, maka sesuatu itu ditrasmisikan ke dalam akal, selanjutnya akal mengesaninya. Hasil indra diolah sedemikian rupa oleh akal, selanjutnya bekerja dengan daya fantasi umtuk menyusun kesan-kesan itu sehingga menjadi suatu gambar yang dikuasai oleh bentuk ruang dan waktu.
Pemikiran-pemikiran Kant yang terpenting diantaranya adalah tentang “akal murni”. Menurut Kant dunia luar itu diketahui hanya dengan sensasi, dan jiwa, bukanlah sekedar tabula rasa. Tetapi jiwa merupakan alat yang positif, memilih dan merekontruksi hasil sensasi yang masuk itu dikerjakan oleh jiwa dengan menggunakan kategori, yaitu dengan mengklasifikasikan dan memersepsikannya ke dalam idea. Melalui alat indara sensasi masuk ke otak, lalu objek itu diperhatikan kemudian disadari. Sensasi-sensasi itu masuk ke otak melalui saluran-saluran tertentu yaitu hukum-hukum, dan hukum-hukum tersebut tidak semua stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan tersebut telah diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Tujuan inilah yang dinamakan hukum-hukum(Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004: 121).
Demikian gagasan Immanuel Kant yang menjadi penggagas Kritisisme. Filsafat memulai perjalanannya dengan menyelidiki batas-batas kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Maka Kritisisme berbeda dengan corak filsafat modern sebelum sebelumnya yang mempercayai kemampuan rasio secara mutlak.
Dengan Kritisisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant, hubungan antara rasio dan pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan yang benar bukan hannya pada rasio, tetapi juga pada hasil indrawi. Kant memastikan adanya pengetahuan yang benar-benar “pasti”, artinya menolak aliran skeptisisme, yaitu aliran yang menyatakan tidak ada pengetahuan yang pasti.
Zaman pencerahan atau yang dikenal di Inggris dengan enlightenment. Terjadi pada abad ke 18 di Jerman. Immanuel Kant mendefinisikan zaman itu dengan mengatakan “dengan aufklarung, manusia akan keluar dari keadaan tidak akil balig (dalam bahasa Jerman: unmundigkeint), yang dengan ia sendiri bersalah”. Sebabnya menusia bersalah karena manusia tidak menggunakan kemungkinan yang ada padanya yaitu rasio. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia barat yang sudah dimulai sejak Renaissance dan reformasi. Di Jerman, seorang filosof besar yang melebihi zaman aufklarung telah lahir yaitu Immanuel Kant.[2]
B.      Ciri-ciri Kritisisme
Isi utama dalam kritisisme yaitu gagasan Immanuel Kant tentang teori pengetahuan, etika, dan estetika. Gagasan tersebut muncul karena ada pertanyaan-pertanyaan yang mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut yaitu:
Ciri-ciri Kritisisme Immanuel Kant dapat disimpulkan menjadi tiga hal yaitu:
1.      Menganggap objek pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
2.      Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk menetahui realitas atau hakikat sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
3.      Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsure “a priori” (sebelum di buktikan tapi kita sudah percaya) yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur “aposteoriori” (setelah di buktikan baru percaya) yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.

C.     Kritisisme Jerman-Immanuel Kant(1724-1804)
Immanuel Kant adalah seorang filsuf Jerman kelahiran Konigsberg, 22 April 1724 – 12 februari 1804. Ia dikenal sebagai tokoh kritisisme. Filsafat kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani pertentangan antara kaum Rasionalisme dengan kaum Empirisme. Bagi Kant, baik Rasionalisme maupun Empirisme belum berhasil memberikan sebuah pengetahuan yang pasti berlaku umum dan terbukti dengan jelas. Kedua aliran itu memiliki kelemahan yang justru merupakan kebaikan bagi seterusnya masing-masing.
Menurut kant, pengetaahuan yang dihasilkan oleh kaum Rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik-apriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat sudah termasuk dengan sendirinya kedalam subyek. Memang mengandung kepastian dan berlaku umum, tetapi tidak memberikan sesuatu yang baru. Sedangkan yang dihasilkan oleh kaum Empirisme itu tercermin dalam putusan yang bersifat sintetik-aposteriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat belum termasuk kedalam subyek. Meski demikian, sifat sintetik-apesteriori ini memberikan pengetahuan yang baru, namun sifatnya tidak tetap, sangat bergantung pada ruang dan waktu. Kebenaran disini sangat bersifat subyektif.
Dengan melihat kebaikan yang terdapat diantara dua putusan tersebut, serta kelemahannya sekaligus, kant memadukaa keduanya dalam suatu bentuk putusan yang bersifat umum-universal, dan pasti di dalamnya, “akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak”.
Bagaimana cara untuk mendapatkan putusan sintetik-apriori?
Dalam hal ini kant menunjukan pada 3 bidang sebagai tahapan yang harus dilalui, yaitu:
a.      Bidang indrawi
Peranan subyek lebih menonjol, namun harus ada dua bentuk murni yaitu ruang dan waktu yag dapat diterapkan pada pegalaman. Hasil yang diterapkan pada ruang dan waktu merupakan fenomena konkrit. Namun pengetahuan yang diperoleh indrawi ini selalu berubah-ubah, tergantung pada subyek yang mengalami dan situasi yang melingkupinya.
b.      Bidang Akal
Apa yang telah diperoleh melalui bidang indrawi tersebut, untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat objektif-universal. Haruslah dituangkan ke bidang akal. Disini terkandung 4 bentuk kategori:
Kategori kuantitas, terdiri atas; singulir(kesatuan), partikulir(sebagian), dan universal(umum).
Kategori kualitas, terdiri atas; realitas(kenyataan), negasi(pengingkaran), dan limitasi(batas-batas)
Kategori relasi, terdiri atas; categories(tidak bersyarat), hypothetis(sebab dan akibat), disjunctif(saling meniadakan)
Kategori modalitas, terdiri atas; mungkin/tidak, ada/tiada, keperluan/kebetulan.[3]
c.       Bidang Rasio
Pengetahuan yang telah diperoleh akal itu baru dapat dikatakan sebagai putusan sintetik-apriori, setelah dikaitkan 3 macam ide, yaitu; Allah(ide teologis), jiwa(ide psikologis), dan dunia (ide kosmologis).
Namun ketiga macam ide itu sendiri tidak dapat dicapai oleh akal pikiran manusia. Ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menetapkan kesatuan pengetahuan. Selain itu Immanual kant juga mengangkat aliran Aufk Larung ke puncak perkembangannya sekaligus mengantar keruntuhannya. Pendapatnya adalah;
Ajarannya tentang pengetahuan
 ialah pendapat-pendapat yang sintesis dengan suatu pertanyaan; bagaimana mungkin orang dapat menetapkan pendapat yang apriori (terlepas dari pengalaman) tentang suatu objek dengan mempergunakan logika?
Ajarannya tentang kesusilaan
 adalah bertentangan dengan ajaran etika/ kesusilaan dari aufk larung (rasa senang/ kenikmatan dan faedah). Maka ajaran etikanya berprinsip bahwa segala sesuatu hanya tergantung pada kehendak/ suasana yang menjadi dasar perbuatan-perbuatan kita. Perbuatan baik dari sudut susila adalah berdasarkan keinsafan kewajiban dengan pengertian bahwa setiap perbuatan kita bisa menjadi hukum umum yang berlaku. Asas pokok kesusilaan adalah imperatif kategoris, artinya suatu imperatif/ perintah dari dalam diri kita yang memerintahkan kepada kita tanpa memandang sebab dan akibatnya, cara berbuatnya, dsb. Berbuat baik adalah berbuat dengan berpangkal pada hukum kesusilaan yang dibuat oleh diri kita sendiri seara otonom karena menghormati hukum kesusilaan.
Ajarannya tentang kesenian
Rasa estetis itu khususnya berupa suatu rasa senang/ nikmat yang bercampur dengan perasaan tak senang. Dapat mengikat menjadi perasaan luhur yang berlebih-lebihan yang dapat membuat kita merasa luhur/ mulia.  
Adapun karya Kant yang terpenting adalah “Kritik der Reinen Vernunft” 1781. Dalam bukunya ini ia membatasi pengetahuan manusia, atau dengan kata lain apa yang bisa diketahui manusia
Kant sebenarnya hanya meneruskan perjuangan Thomas Aquinas yang pernah melakukannya. Immanuel Kant sendiri mulanya sangat beregang teguh dengan rasionalisme, secara dia adalah seorang Jerman, namun dia tersadarkan akan empirisme dari bukunya David Hume (filsuf Inggris). Dan sejak itulah Immanuel Kant merasa rasionalisme dan empirisme bisa digabungkan dan merupakan sebuah bagian yang dapat melengkapi satu sama lain.
Kritisisme Rasionalis Jerman yang diajarkan Immanuel Kant adalah metodeloginya yang dikenal dengan metode induksi, dari partkular data-data terkecil baru mencapai kesimpulan universal.
Dengan kritisisme Immanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia "itu sendiri", namun hanya dunia itu seperti tampak "bagiku", atau "bagi semua orang". Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah, ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Immanuel Kant juga beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan Fenomena saja. Fenomena itu sendiri adalah sesuatu yang tampak yang hanya menunjukkan fisiknya saja. Seperti Benda pada dirinya, bukan isinya atau idenya. seperti ada ungkapan "The Think in itself". Sama halnya dengan Manusia hanya bisa melihat Manusia lain secara penampakannya saja atau fisiknya saja, tetapi tidak bisa melihat ide manusia tersebut. Inderawi hanya bisa melihat Fenomena (fisik) tapi tidak bisa melihat Nomena (Dunia ide abstrak- Plato)
Immanuel Kant memang cenderung mendapatkan "ilham" atau terinmspirasi dari Plato, tapi tidak semuanya, dia "menyempurnakannya"dengan menggabungkan dengan Pengalaman Empirisme ajaran Aristoteles. Plato beranggapan Fenomena yang membentuk Nomena, Ide di atas segalanya, Ide yang membentuk sebuah yang nyata, seperti halnya Tuhan menciptakan Manusia.[3]
Immanuel Kant terinspirasi dari Plato terlihat dari teori 3 postulat "buatan". Sesuatu yang kita percaya, namun sulit dibuktikan.
1. Free Will, Kehendak yang bebas
2. Keabadian Jiwa, Immortaolitas Jiwa (warisan Plato. Manusia mati, tetapi Jiwa tak pernah Mati, makanya ide bersifat abstrak dan di atas segalanya)
3. Tuhan, merupakan sesuatu yang kita percaya dan yakini akan keadaanya, akan tetapi sulit untuk mebuktikan kenampakan fisiknya.
Menurut Kant dalam pengenalan inderawi selalu sudah ada 2 bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Kedua-duanya berakar dalam struktur subyek sendiri. Memang ada suatu realitas terlepas dari subyek yang mengindera, tetapi realitas (das ding an sich = benda dalam dirinya) tidak pernah dikenalinya. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang merupakan sintesa antara hal-hal yang datang dari luas (aposteriori) dengan bentuk ruang dan waktu (apriori).
manuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini.  Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh.  Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita.
Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia.  Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (“das Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua orang”.  Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia.
Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indera kita.  Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan.
Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentukpengetahuan. Demikian Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini
C.   Kritisisme Immanuel Kant dan Sumbangannya pada Dunia Pengetahuan
Menurut Kant, kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanan dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio (Kaelan, 2009:60). Menurut Bertens, Kant adalah filsuf pertama yang mengembangkan penyelidikan ini. Dikatakan bahwa para filsuf-filsuf sebelumnya bersifat dogmatis, karena mereka hanya percaya secara mentah-mentah pada kemampuan rasio tanpa menyelidiki terlebih dahulu. Dengan kata lain Kant mampu mengubah wajah dan paradigma filsafat, membedakan dan mempertentangkan antara dogmatisme dan kritisisme.
Kritisisme Kant merupakan buah usaha raksasa untuk menjembatani Rasionalisme dan Empirisme. Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia.
Menurut paham Empirisme  sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata (menekankan unsur-unsur aposteriori). Sementara rasionalisme berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan bukan pengalaman inderawi. Terlepas dari rasa kekaguman Kant terhadap Empirisme Hume yang bersifat radikal dan konsekuen, namun ia tidak menyetujui skeptisisme Hume yang menyimpulkan bahwa dalam ilmu pengetahuan, kita tidak dapat mencapai suatu kepastian. Padahal sudah jelas bahwa pada masa-masa Kant, ilmuwan telah menemukan dalil atau hukum-hukum yang sifatnya berlaku umum dan pasti.
Menurut Hume, semua proposisi yang signifikan haruslah salah satu dari kemungkinan ini: (1) bersifat sintesis dan a posteriori atau (2) bersifat analitis dan a priori. Namun Kant memperkenalkan kategori proposisi signifikan yang ketiga, yakni: yang bersifat sintesis a priori. Menurut Kant, proposisi yang bersifat sintesis a priorimerupakan proposisi yang sifatnya benar tanpa memerlukan pertimbangan dari pengalaman. Lebih jauhnya, proposisi yang bersifat sintesis a priori seperti misalnya: “Segala sesuatu pasti memiliki sebab”, tidak pernah bisa dibuktikan oleh para penganut aliran empirisme karena mereka telah telah terdoktrin bahwa “pasangan” dari sintesis adalah posteriori dan sebaliknya, “pasangan” dari analitis adalah apriori. Begitu juga dengan penganut aliran rasionalisme. Mereka terlalu terpaku dengan rangkaian istilah tersebut, sehingga mereka seringkali salah. Seperti misalnya dalam proposisi “Diri sendiri merupakan zat tunggal” (The self is a simple substance), mereka mengira bahwa proposisi tersebut dapat dibuktikan secara analitis a priori tapi ternyata tidak. Kant berargumen, bahwa proposisi yang bersifat sintesis a priori memerlukan sejumlah macam bukti dibandingkan proposisi yang sifatnya analitis a priori atau sintesis a posteriori. Petunjuk dari bagaimana melakukannya, menurut Kant, dapat ditemukan dalam sejumlah proposisi yang ada dalam ilmu pengetahuan alam dan matematika. Proposisi geometris seperti “Sudut-sudut dari segitiga selalu berjumlah 180°” merupakan sesuatu yang diketahui secara a priori, namun hal tersebut tidak hanya diketahui dari sebuah analisis atas konsep segitiga saja.
Inovasi Kant secara metodologis adalah dengan menggunakan apa yang ia sebut sebagai argumen transendental untuk membuktikan proposisi yang bersifat sintesis a priori. Salah satu argumennya adalah “ada realitas yang eksis di dalam waktu dan tempat diluar diriku”, yang tidak bisa dibuktikan baik secara a priori maupunposteriori. Menurutnya, ada sebuah realitas yang bersifat independen dan diluar pengalaman manusia. Ia menyebut realitas itu sebagai dunia noumena—yakni dunia realitas dalam-dirinya-sendiri. Sedangkan dunia yang tampak dihadapan kita adalah dunia fenomena—yakni dunia yang ditangkap oleh pengalaman indera kita. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa pasti ada sesuatu yang sifatnya permanen diluar dirinya, yang tidak dapat dijangkau oleh dirinya sendiri
Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme sebenarnya kedua-duanya bersifat berat sebelah. Kant berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesis antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori  (Kaelan, 2009:60).
Kritisisme yang diperkenalkan pertama kali oleh Immanuel Kant (1724-1804) adalah sebuah ajaran yang disebut sebagai filsafat kritis. Tiga karya besarnya disebut sebagai “Kritik”, yaitu : Kritik der reinen Vernunft (Critique of Pure Reason), Kritik der praktischen Vernunft (Critique of Practical Reason), dan Kritik der Urteilskraft (Kritik atas Daya Pertimbangan). (Hadiwijono, 1980 : 64)
Secara harafiah kata kritik berarti “pemisahan”. Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara objektif dan menentukan batas-batas kemempuannya untuk memberi tempat kepada keyakinan.
Dengan kata lain, filsafat Kant bermaksud untuk memugar sifat objektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Supaya maksud itu terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak dari empirisisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subjeknya lepas dari segala pengalaman. Sedangkan empirisisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja. Ternyata bahwa empirisisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme yang radikal. Disini, filsafat Kant memadukan kedua filsafat rasionalisme dan empirisisme manjadi satu kesatuan dalam bentuk filsafat kritis, dan membangun cara berpikir kritis yang tidak terjebak dalam keduanya.
Menurut Kant, pemikiran telah mencapai arahnya yang pasti dalam ilmu pengetahuan pasti-alam yang telah disusun oleh Newton. Ilmu pengetahuan pasti alam itu telah mengajar kita bahwa perlu sekali kita terlebih dahulu secara kritis meneliti tindakan pengenalan itu sendiri. Pengenalan bersandar kepada putusan. Oleh karena itu perlu sekali pertama-tama diadakan penelitian terhadap putusan.
Suatu putusan menghubungkan dua pengertian yang terdiri dari subjek dan predikat. Dalam satu putusan seperti “meja itu bagus”, maka predikatnya (bagus) menambahkan sesuatu yang baru kepada subjeknya (meja). Karena tidak semua meja adalah bagus. Putusan ini disebut putusan yang sintetis, karena menambahkan sesuatu yang baru terhadap subjeknya dan diperoleh secara a posteriori, atau melalui pengalaman dengan melihat meja itu dan membandingkan dengan meja-meja lain. Inilah putusan yang dihasilkan oleh empirisisme.
Dalam putusan yang lain seperti “lingkaran adalah bulat”, ternyata predikatnya (bulat) tidak memberi sesuatu yang baru terhadap subjeknya (lingkaran). Maka hal ini disebut putusan yang analitis, dan bersifat a priori, atau bisa diperoleh hanya melalui kegiatan pemikiran akali saja tanpa dibutuhkannya suatu pengalaman. Inilah putusan yang dihasilkan oleh rasionalisme.
Menurut Kant, syarat dasar bagi suatu pengetahuan adalah bersifat umum dan perlu mutlak namun sekaligus memberi pengetahuan yang baru. Empirisme memberikan putusan-putusan yang sintetis, jadi tidak mungkin empirisme memberikan suatu yang bersifat umum dan perlu mutlak. Sebaliknya rasionalisme memberikan putusan-putusan yang analitis, jadi tidak memberikan suatu pengetahuan yang baru. (Hadiwijono, 1980 : 65-66)
Demikianlah, ternyata baik empirisisme maupun rasionalisme tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh ilmu pengetahuan. Maka dari itu, perlu diselidiki bagaimana membuat suatu putusan-putusan yang sintetis a priori, yaitu suatu putusan yang mampu memberikan sesuatu yang baru, namun tidak perlu tergantung dari pengalaman. Demikianlah bahwa filsafat Kant juga bersifat transendental, yang berusaha meneliti bagaimana cara seseorang untuk mengenal segala sesuatu. (Hadiwijono, 1980 : 65)
Segala pengalaman terjadi karena penggabungan dua faktor, yaitu pengamatan inderawi dan penyadaran akal. Dalam kesadaran sehari-hari, kedua faktor ini tidak terpisahkan. Akan tetapi dalam hal ini secara teoretis keduanya harus dipisahkan, dengan maksud supaya masing-masing dapat diselidiki kemungkinan dan keadaannya secara transendental.
Adapun yang kita amati itu bukanlah bendanya sendiri atau “benda dalam dirinya sendiri” (das ding an sich), melainkan suatu salinan dari pembentukan benda itu dalam daya-daya inderawi lahiriah dan batiniah, yang disebut sebagai penampakan atau gejala-gejala (fenomena). Yang kita amati sesungguhnya bukanlah objek dalam dirinya sendiri, melainkan gagasan kita tentang objek itu yang nampak pada kita melalui indera-indera kita, yang menggerakkan daya tangkap indera kita, sehingga kita membentuknya dalam fantasi menjadi suatu gambaran tertentu. Jadi, mengetahui bukanlah mengetahui benda dalam dirinya (das ding an sich), melainkan mengetahui penampakan atau fenomena, sehingga pengertian hanya dapat dipakai untuk memikirkan penampakan atau fenomena, bukan untuk memikirkan benda dalam dirinya. (Hadiwijono, 1980 : 67)
Dalam hal ini, proses mengetahui dengan pengamatan terhadap objek tersebut terletak dan dikuasai oleh kedua bentuk a priori, yaitu ruang dan waktu. Bagi Kant, ruang dan waktu adalah sebuah “bentuk formal” dari penginderaan. Bentuk ruang membentuk kesan-kesan inderawi yang lahiriah, sedangkan waktu membentuk cerapan-cerapan inderawi yang batiniah. Ajaran Kant tentang etika banyak tertuang dalam bukunya Kritik der praktischen Vernunft (Critique of Practical Reason). Disana dibicarakan tentang syarat-syarat umum dan yang perlu mutlak bagi perbuatan kesusilaan. Yang dijadikan pegangan adalah gagasan bahwa ada suatu “intuisi” yang memberi keyakinan bahwa tiada sesuatu yang lebih tinggi daripada perbuatan yang dilakukan berdasarkan suatu “kehendak baik”. Kelihatannya naluri manusia lebih menentukan “kehendak baik” itu. Namun demikian sesungguhnya naluri senantiasa memperhitungkan faktor-faktor pengalaman. Maka dari itu harus dicari satu faktor yang semata-mata baik dalam dirinya sendiri dan tidak tergantung dari apapun, termasuk hasil yang akan diperoleh. Faktor yang demikian itu hanyalah rasio, yang dalam hal ini dapat memberi suatu patokan praktis dalam setiap tindakan. (Hadiwijono, 1980 : 74)
Menurut Kant, ada dua bentuk ketetapan kehendak, yaitu ketetapan subjektif dan ketetapan objektif. Ketetapan subjektif datang dari subjek dan ada kemungkinan kesewenang-wenangan. Ketetapan yang objektiflah yang memberi perintah (imperatif), dimana terdapat gagasan tentang suatu asas yang objektif, yang menjadikan kehendak itu harus terjadi, lepas dari keinginan pribadi. Jadi, yang menentukan adalah suatu pandangan objektif yang dimiliki rasio, yang seakan-akan memberi perintah “Berbuatlah menurut motif-motif yang diberikan oleh rasio.” Disinilah kehendak benar-benar objektif dan bersifat imperatif.
Tindakan imperatif itu ada dua macam, yaitu imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis adalah suatu perintah yang mengemukakan suatu perbuatan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Yang menjadi tujuan dapat sesuatu yang nyata atau yang mungkin. Contohnya adalah “Jika ingin pandai maka harus rajin belajar.” (Scruton, 1982)
Imperatif yang kedua adalah imperatif kategoris. Imperatif kategoris adalah perintah yang tidak tergoyahkan, yang tidak ada hubungannya dengan tujuan yang hendak dicapai, perintah yang tidak mengenal pertanyaan “untuk apa berbuat sesuatu ?” Perintah ini hanya memiliki tujuan dalam dirinya sendiri, dan bersifat formal yang hanya memformulasikan syarat formal yang harus dipenuhi perbuatan apapun supaya dapat diberi nilai etis yang baik.
Adapun imperatif hipotetis hanya dapat ditaati karena kepentingan diri sendiri, sehingga tersirat di dalamnya suatu dorongan ego. Tidak demikian dengan imperatif kategoris, disini kehendak dan hukum adalah satu. Inilah yang disebut rasio praktis yang murni. Disini tidak ada unsur akal, yang ada hanya “keharusan” sesuatu yang sekaligus adalah kehendak yang sempurna dan murni. Imperatif kategoris inilah yang dipandang Kant sebagai asas kesusilaan yang transendental. Keharusan (sollen) ini mewujudkan segala persoalan etis.


1] The Liang Gie. Pengantar filsafat ilmu. 2004.hal 27-30
[2] Asmoro,Ahmadi,Filsafat Umum, Jakarta:Raja Wali Pres,2004:132
[3] Abdur Rozak dan Isep Zainal Arifin,Filsafat Umum, Gema Media Pustakama, Bandung, 2002:282

No comments: