Filsafat Kant merupakan titik tolak periode baru bagi
filsafat Barat. Ia mengatasi dan menyimpulkan aliran Rasionalisme dan
Empirisme, yang dibantah oleh Copleston VI. Dari satu pihak ia mempertahankan
obyektifitas, universalitas, dan keniscayaan. Dalam filsafat Kant, tekanan yang
utama terletak pada kegiatan atau pengertian dan penilaian manusia. Bukan
seperti empirisme yang menekankan pada aspek psikologi, melainkan sebagai
analisa kritis, pada pemahaman Kant yang baru, dan sering disebut “revolusi
Kopernikus yang kedua”.
Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat
sebelah dalam menilai akal dan pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Kant
tidak menentang adanya akal murni, ia hanya menunjukkan bahwa akal murni itu
terbatas. Akal murni menghasilkan pengetahuan tanpa dasar indrawi atau
independen dari alat pancaindra.
Kant dalam argumennya, bahwa akal dipandu oleh tiga ide
transcendental, yaitu ide psikologis yang disebut jiwa, ide dunia, dan ide
tentang Tuhan. Ketiganya tersebut memiliki fungsi masing-masing, yaitu “ide
jiwa” menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah yang merupakan cita-cita
yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang psikis, “ide dunia” menyatakan
segala gejala jasmaniah, “ide Tuhan” mendasari segala gejala, segala yang ada,
baik batiniah maupun yang lahiriah (Ahmad Tafsir, 2005:150-151, lihat Mircea
Eliade,t.:247)[1]
Kant mengarang macam-macam kritik mengenai akalbudi,
kehendak, rasa, dan agama. Dalam karyanya yang sering disebut metafisika.
Menurutnya Metafisika merupakan uraian sistematis mengenai keseluruhan
pengertian filosofis yang dapat dicapai. Ia berpendapat bahwa pada
sekurang-kurangnya pada prinsipnya mungkin untuk memperkembangkan suatu
metafisika sistematis yang lengkap. Namun Kant mulai meragukan kemungkinan dan
kompetensi metafisik, sebab menurut dia metafisik tidak pernah menemukan metode
ilmiah yang pasti untuk memecahkan masalahnya, maka perlu diselidiki dahulu
kemampuan dan batas-batas akal-budi.
Immannuel Kant membedakan akal (vertstand) dari rasio dan
budi (vernuft). Tugas akal merupakan yang mengatur data-data indrawi, yaitu
dengan mengemukakan “putusan-putusan”. Sebgaimana kita melihat sesuatu, maka
sesuatu itu ditrasmisikan ke dalam akal, selanjutnya akal mengesaninya. Hasil
indra diolah sedemikian rupa oleh akal, selanjutnya bekerja dengan daya fantasi
umtuk menyusun kesan-kesan itu sehingga menjadi suatu gambar yang dikuasai oleh
bentuk ruang dan waktu.
Pemikiran-pemikiran Kant yang terpenting diantaranya adalah
tentang “akal murni”. Menurut Kant dunia luar itu diketahui hanya dengan
sensasi, dan jiwa, bukanlah sekedar tabula rasa. Tetapi jiwa merupakan alat
yang positif, memilih dan merekontruksi hasil sensasi yang masuk itu dikerjakan
oleh jiwa dengan menggunakan kategori, yaitu dengan mengklasifikasikan dan
memersepsikannya ke dalam idea. Melalui alat indara sensasi masuk ke otak, lalu
objek itu diperhatikan kemudian disadari. Sensasi-sensasi itu masuk ke otak
melalui saluran-saluran tertentu yaitu hukum-hukum, dan hukum-hukum tersebut
tidak semua stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan
tersebut telah diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Tujuan inilah yang dinamakan
hukum-hukum(Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004: 121).
Demikian gagasan Immanuel Kant yang menjadi penggagas
Kritisisme. Filsafat memulai perjalanannya dengan menyelidiki batas-batas
kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Maka Kritisisme berbeda
dengan corak filsafat modern sebelum sebelumnya yang mempercayai kemampuan
rasio secara mutlak.
Dengan Kritisisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant,
hubungan antara rasio dan pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan
yang benar bukan hannya pada rasio, tetapi juga pada hasil indrawi. Kant
memastikan adanya pengetahuan yang benar-benar “pasti”, artinya menolak aliran
skeptisisme, yaitu aliran yang menyatakan tidak ada pengetahuan yang pasti.
Zaman pencerahan atau yang dikenal di Inggris dengan enlightenment. Terjadi
pada abad ke 18 di Jerman. Immanuel Kant mendefinisikan zaman itu dengan
mengatakan “dengan aufklarung, manusia akan keluar dari
keadaan tidak akil balig (dalam bahasa Jerman: unmundigkeint), yang
dengan ia sendiri bersalah”. Sebabnya menusia bersalah karena manusia tidak
menggunakan kemungkinan yang ada padanya yaitu rasio. Dengan demikian zaman
pencerahan merupakan tahap baru dalam proses emansipasi manusia barat yang
sudah dimulai sejak Renaissance dan reformasi. Di Jerman, seorang filosof besar
yang melebihi zaman aufklarung telah lahir yaitu Immanuel
Kant.[2]
B. Ciri-ciri
Kritisisme
Isi utama dalam kritisisme yaitu gagasan Immanuel Kant
tentang teori pengetahuan, etika, dan estetika. Gagasan tersebut muncul karena
ada pertanyaan-pertanyaan yang mendasar yang timbul pada pemikiran Immanuel
Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut yaitu:
Ciri-ciri Kritisisme Immanuel Kant dapat disimpulkan menjadi
tiga hal yaitu:
1. Menganggap objek pengenalan
berpusat pada subjek dan bukan pada objek.
2. Menegaskan keterbatasan
kemampuan rasio manusia untuk menetahui realitas atau hakikat sesuatu, rasio
hanya mampu menjangkau gejalanya atau fenomenanya saja.
3. Menjelaskan bahwa pengenalan
manusia atas sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsure “a
priori” (sebelum di buktikan tapi kita sudah percaya) yang berasal dari rasio
serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur “aposteoriori” (setelah di
buktikan baru percaya) yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.
C. Kritisisme Jerman-Immanuel
Kant(1724-1804)
Immanuel Kant adalah seorang filsuf Jerman kelahiran
Konigsberg, 22 April 1724 – 12 februari 1804. Ia dikenal sebagai tokoh
kritisisme. Filsafat kritis yang ditampilkannya bertujuan untuk menjembatani
pertentangan antara kaum Rasionalisme dengan kaum Empirisme. Bagi Kant, baik
Rasionalisme maupun Empirisme belum berhasil memberikan sebuah pengetahuan yang
pasti berlaku umum dan terbukti dengan jelas. Kedua aliran itu memiliki
kelemahan yang justru merupakan kebaikan bagi seterusnya masing-masing.
Menurut kant, pengetaahuan yang dihasilkan oleh kaum
Rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik-apriori, yaitu
suatu bentuk putusan dimana predikat sudah termasuk dengan sendirinya kedalam
subyek. Memang mengandung kepastian dan berlaku umum, tetapi tidak memberikan
sesuatu yang baru. Sedangkan yang dihasilkan oleh kaum Empirisme itu tercermin
dalam putusan yang bersifat sintetik-aposteriori, yaitu suatu bentuk putusan
dimana predikat belum termasuk kedalam subyek. Meski demikian, sifat
sintetik-apesteriori ini memberikan pengetahuan yang baru, namun sifatnya tidak
tetap, sangat bergantung pada ruang dan waktu. Kebenaran disini sangat bersifat
subyektif.
Dengan melihat kebaikan yang terdapat diantara dua putusan
tersebut, serta kelemahannya sekaligus, kant memadukaa keduanya dalam suatu
bentuk putusan yang bersifat umum-universal, dan pasti di dalamnya, “akal
budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak”.
Bagaimana cara untuk mendapatkan putusan sintetik-apriori?
Dalam hal ini kant menunjukan pada 3 bidang sebagai tahapan
yang harus dilalui, yaitu:
a. Bidang indrawi
Peranan subyek lebih menonjol, namun harus ada dua bentuk
murni yaitu ruang dan waktu yag dapat diterapkan pada pegalaman. Hasil yang
diterapkan pada ruang dan waktu merupakan fenomena konkrit. Namun pengetahuan
yang diperoleh indrawi ini selalu berubah-ubah, tergantung pada subyek yang mengalami
dan situasi yang melingkupinya.
b. Bidang Akal
Apa yang telah diperoleh melalui bidang indrawi tersebut,
untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat objektif-universal. Haruslah
dituangkan ke bidang akal. Disini terkandung 4 bentuk kategori:
Kategori kuantitas, terdiri atas; singulir(kesatuan),
partikulir(sebagian), dan universal(umum).
Kategori kualitas, terdiri atas; realitas(kenyataan),
negasi(pengingkaran), dan limitasi(batas-batas)
Kategori relasi, terdiri atas; categories(tidak bersyarat),
hypothetis(sebab dan akibat), disjunctif(saling meniadakan)
Kategori modalitas, terdiri atas; mungkin/tidak, ada/tiada,
keperluan/kebetulan.[3]
c. Bidang Rasio
Pengetahuan yang telah diperoleh akal itu baru dapat
dikatakan sebagai putusan sintetik-apriori, setelah dikaitkan 3 macam ide,
yaitu; Allah(ide teologis), jiwa(ide psikologis), dan dunia (ide
kosmologis).
Namun ketiga macam ide itu sendiri tidak dapat dicapai oleh
akal pikiran manusia. Ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk menetapkan
kesatuan pengetahuan. Selain itu Immanual kant juga mengangkat aliran Aufk
Larung ke puncak perkembangannya sekaligus mengantar keruntuhannya. Pendapatnya
adalah;
Ajarannya tentang
pengetahuan
ialah pendapat-pendapat yang sintesis dengan suatu
pertanyaan; bagaimana mungkin orang dapat menetapkan pendapat yang apriori (terlepas
dari pengalaman) tentang suatu objek dengan mempergunakan logika?
Ajarannya tentang kesusilaan
adalah bertentangan dengan ajaran etika/ kesusilaan
dari aufk larung (rasa senang/ kenikmatan dan faedah). Maka ajaran
etikanya berprinsip bahwa segala sesuatu hanya tergantung pada kehendak/
suasana yang menjadi dasar perbuatan-perbuatan kita. Perbuatan baik dari sudut
susila adalah berdasarkan keinsafan kewajiban dengan pengertian bahwa setiap
perbuatan kita bisa menjadi hukum umum yang berlaku. Asas pokok kesusilaan
adalah imperatif kategoris, artinya suatu imperatif/ perintah dari dalam diri
kita yang memerintahkan kepada kita tanpa memandang sebab dan akibatnya, cara
berbuatnya, dsb. Berbuat baik adalah berbuat dengan berpangkal pada hukum
kesusilaan yang dibuat oleh diri kita sendiri seara otonom karena menghormati
hukum kesusilaan.
Ajarannya tentang kesenian
Rasa estetis itu khususnya berupa suatu rasa senang/ nikmat
yang bercampur dengan perasaan tak senang. Dapat mengikat menjadi perasaan
luhur yang berlebih-lebihan yang dapat membuat kita merasa luhur/ mulia.
Adapun karya Kant yang terpenting adalah “Kritik der
Reinen Vernunft” 1781. Dalam bukunya ini ia membatasi pengetahuan
manusia, atau dengan kata lain apa yang bisa diketahui manusia
Kant sebenarnya hanya meneruskan perjuangan Thomas Aquinas
yang pernah melakukannya. Immanuel Kant sendiri mulanya sangat beregang teguh
dengan rasionalisme, secara dia adalah seorang Jerman, namun dia tersadarkan
akan empirisme dari bukunya David Hume (filsuf Inggris). Dan sejak
itulah Immanuel Kant merasa rasionalisme dan empirisme bisa digabungkan dan
merupakan sebuah bagian yang dapat melengkapi satu sama lain.
Kritisisme Rasionalis Jerman yang diajarkan Immanuel Kant
adalah metodeloginya yang dikenal dengan metode induksi, dari partkular
data-data terkecil baru mencapai kesimpulan universal.
Dengan kritisisme Immanuel Kant (1724-1804) mencoba
mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini. Kant
berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah separuh.
Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari indera kita, namun
dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana kita memandang
dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang ikut
menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita
tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia "itu sendiri",
namun hanya dunia itu seperti tampak "bagiku", atau "bagi
semua orang". Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi
sumbangan kepada pengetahuan manusia tentang dunia. Yang pertama adalah
kondisi-kondisi lahirilah, ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui
sebelum kita menangkapnya dengan indera kita. Ruang dan waktu adalah cara
pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua
adalah kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang
tunduk kepada hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Immanuel Kant juga beranggapan bahwa data inderawi manusia
hanya bisa menentukan Fenomena saja. Fenomena itu sendiri adalah sesuatu yang
tampak yang hanya menunjukkan fisiknya saja. Seperti Benda pada dirinya, bukan
isinya atau idenya. seperti ada ungkapan "The Think in
itself". Sama halnya dengan Manusia hanya bisa melihat Manusia lain
secara penampakannya saja atau fisiknya saja, tetapi tidak bisa melihat ide
manusia tersebut. Inderawi hanya bisa melihat Fenomena (fisik) tapi
tidak bisa melihat Nomena (Dunia ide abstrak- Plato)
Immanuel Kant memang cenderung mendapatkan "ilham" atau
terinmspirasi dari Plato, tapi tidak semuanya, dia "menyempurnakannya"dengan
menggabungkan dengan Pengalaman Empirisme ajaran Aristoteles. Plato beranggapan
Fenomena yang membentuk Nomena, Ide di atas segalanya, Ide yang membentuk
sebuah yang nyata, seperti halnya Tuhan menciptakan Manusia.[3]
Immanuel Kant terinspirasi dari Plato terlihat dari teori 3
postulat "buatan". Sesuatu yang kita percaya, namun sulit
dibuktikan.
1. Free Will, Kehendak yang bebas
2. Keabadian Jiwa, Immortaolitas Jiwa (warisan Plato. Manusia mati, tetapi
Jiwa tak pernah Mati, makanya ide bersifat abstrak dan di atas segalanya)
3. Tuhan, merupakan sesuatu yang kita percaya dan yakini akan
keadaanya, akan tetapi sulit untuk mebuktikan kenampakan fisiknya.
Menurut Kant dalam pengenalan inderawi selalu sudah ada 2
bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Kedua-duanya berakar dalam struktur
subyek sendiri. Memang ada suatu realitas terlepas dari subyek yang mengindera,
tetapi realitas (das ding an sich = benda dalam dirinya) tidak pernah
dikenalinya. Kita hanya mengenal gejala-gejala yang merupakan sintesa antara
hal-hal yang datang dari luas (aposteriori) dengan bentuk ruang dan waktu
(apriori).
manuel Kant (1724-1804) mencoba
mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan ini.
Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh, dan salah
separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia berasal dari
indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang menentukan bagaimana
kita memandang dunia sekitar kita.
Ada kondisi-kondisi tertentu dalam manusia yang
ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan Hume
bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia “itu sendiri” (“das
Ding an sich”), namun hanya dunia itu seperti tampak “bagiku”, atau “bagi semua
orang”. Namun, menurut Kant, ada dua unsur yang memberi sumbangan kepada
pengetahuan manusia tentang dunia.
Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah
ruang dan waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan
indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari
dunia fisik. Itu materi pengetahuan.
Yang kedua adalah kondisi-kondisi batiniah dalam
manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada hukum kausalitas yang tak
terpatahkan. Ini bentukpengetahuan. Demikian Kant
membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat, membuat suatu sintesis, dan
meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini
C. Kritisisme Immanuel
Kant dan Sumbangannya pada Dunia Pengetahuan
Menurut Kant, kritisisme adalah filsafat yang
memulai perjalanan dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas
rasio (Kaelan, 2009:60). Menurut Bertens, Kant adalah filsuf pertama yang
mengembangkan penyelidikan ini. Dikatakan bahwa para filsuf-filsuf sebelumnya
bersifat dogmatis, karena mereka hanya percaya secara mentah-mentah pada
kemampuan rasio tanpa menyelidiki terlebih dahulu. Dengan kata lain Kant mampu
mengubah wajah dan paradigma filsafat, membedakan dan mempertentangkan antara
dogmatisme dan kritisisme.
Kritisisme Kant merupakan buah usaha raksasa
untuk menjembatani Rasionalisme dan Empirisme. Pengetahuan tentang alam dan
moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori, yakni
hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis
tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan
hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum
moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia.
Menurut paham Empirisme sumber utama
pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata
(menekankan unsur-unsur aposteriori). Sementara
rasionalisme berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang
bersifat apriori, dan bukan pengalaman
inderawi. Terlepas dari rasa kekaguman Kant terhadap Empirisme Hume yang
bersifat radikal dan konsekuen, namun ia tidak menyetujui skeptisisme Hume yang
menyimpulkan bahwa dalam ilmu pengetahuan, kita tidak dapat mencapai suatu
kepastian. Padahal sudah jelas bahwa pada masa-masa Kant, ilmuwan telah
menemukan dalil atau hukum-hukum yang sifatnya berlaku umum dan pasti.
Menurut Hume, semua proposisi yang signifikan
haruslah salah satu dari kemungkinan ini: (1) bersifat sintesis dan a posteriori atau (2) bersifat analitis dan a priori. Namun
Kant memperkenalkan kategori proposisi signifikan yang ketiga, yakni: yang
bersifat sintesis a priori. Menurut Kant, proposisi
yang bersifat sintesis a priorimerupakan proposisi yang
sifatnya benar tanpa memerlukan pertimbangan dari pengalaman. Lebih jauhnya,
proposisi yang bersifat sintesis a priori seperti misalnya: “Segala sesuatu
pasti memiliki sebab”, tidak pernah bisa dibuktikan oleh para penganut aliran
empirisme karena mereka telah telah terdoktrin bahwa “pasangan” dari sintesis
adalah posteriori dan sebaliknya, “pasangan” dari analitis adalah apriori.
Begitu juga dengan penganut aliran rasionalisme. Mereka terlalu terpaku dengan
rangkaian istilah tersebut, sehingga mereka seringkali salah. Seperti misalnya dalam
proposisi “Diri sendiri merupakan zat tunggal” (The self is a simple
substance), mereka mengira bahwa proposisi tersebut dapat dibuktikan secara
analitis a priori tapi ternyata tidak. Kant
berargumen, bahwa proposisi yang bersifat sintesis a priori memerlukan sejumlah macam bukti
dibandingkan proposisi yang sifatnya analitis a priori atau sintesis a posteriori. Petunjuk dari bagaimana melakukannya,
menurut Kant, dapat ditemukan dalam sejumlah proposisi yang ada dalam ilmu
pengetahuan alam dan matematika. Proposisi geometris seperti “Sudut-sudut dari
segitiga selalu berjumlah 180°” merupakan sesuatu yang diketahui secara a priori, namun
hal tersebut tidak hanya diketahui dari sebuah analisis atas konsep segitiga
saja.
Inovasi Kant secara metodologis adalah dengan
menggunakan apa yang ia sebut sebagai argumen transendental untuk membuktikan
proposisi yang bersifat sintesis a priori. Salah satu argumennya
adalah “ada realitas yang eksis di dalam waktu dan tempat diluar diriku”, yang
tidak bisa dibuktikan baik secara a priori maupunposteriori.
Menurutnya, ada sebuah realitas yang bersifat independen dan diluar pengalaman
manusia. Ia menyebut realitas itu sebagai dunia noumena—yakni
dunia realitas dalam-dirinya-sendiri. Sedangkan dunia yang tampak dihadapan kita
adalah dunia fenomena—yakni dunia yang ditangkap
oleh pengalaman indera kita. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa pasti ada
sesuatu yang sifatnya permanen diluar dirinya, yang tidak dapat dijangkau oleh
dirinya sendiri
Menurut Kant, baik rasionalisme maupun empirisme
sebenarnya kedua-duanya bersifat berat sebelah. Kant berusaha menjelaskan bahwa
pengenalan manusia merupakan paduan atau sintesis antara unsur-unsur apriori
dengan unsur-unsur aposteriori (Kaelan, 2009:60).
Kritisisme yang diperkenalkan pertama kali oleh
Immanuel Kant (1724-1804) adalah sebuah ajaran yang disebut sebagai filsafat
kritis. Tiga karya besarnya disebut sebagai “Kritik”, yaitu : Kritik der reinen Vernunft (Critique of Pure Reason), Kritik der praktischen
Vernunft (Critique
of Practical Reason), dan Kritik der Urteilskraft (Kritik atas Daya
Pertimbangan). (Hadiwijono, 1980 : 64)
Secara harafiah kata kritik berarti “pemisahan”.
Filsafat Kant bermaksud membeda-bedakan antara pengenalan yang murni dan yang
tidak murni, yang tiada kepastiannya. Ia ingin membersihkan pengenalan dari
keterikatannya kepada segala penampakan yang bersifat sementara. Jadi
filsafatnya dimaksud sebagai penyadaran atas kemampuan-kemampuan rasio secara
objektif dan menentukan batas-batas kemempuannya untuk memberi tempat kepada
keyakinan.
Dengan kata lain, filsafat Kant bermaksud untuk
memugar sifat objektivitas dunia dan ilmu pengetahuan. Supaya maksud itu
terlaksana, orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan
sifat sepihak dari empirisisme. Rasionalisme mengira telah menemukan kunci bagi
pembukaan realitas pada diri subjeknya lepas dari segala pengalaman. Sedangkan
empirisisme mengira hanya dapat memperoleh pengenalan dari pengalaman saja.
Ternyata bahwa empirisisme sekalipun mulai dengan ajaran yang murni tentang
pengalaman, tetapi melalui idealisme subjektif bermuara pada suatu skeptisisme
yang radikal. Disini, filsafat Kant memadukan kedua filsafat rasionalisme dan
empirisisme manjadi satu kesatuan dalam bentuk filsafat kritis, dan membangun
cara berpikir kritis yang tidak terjebak dalam keduanya.
Menurut Kant, pemikiran telah mencapai arahnya
yang pasti dalam ilmu pengetahuan pasti-alam yang telah disusun oleh Newton.
Ilmu pengetahuan pasti alam itu telah mengajar kita bahwa perlu sekali kita
terlebih dahulu secara kritis meneliti tindakan pengenalan itu sendiri.
Pengenalan bersandar kepada putusan. Oleh karena itu perlu sekali pertama-tama
diadakan penelitian terhadap putusan.
Suatu putusan menghubungkan dua pengertian yang
terdiri dari subjek dan predikat. Dalam satu putusan seperti “meja itu bagus”,
maka predikatnya (bagus) menambahkan sesuatu yang baru kepada subjeknya (meja).
Karena tidak semua meja adalah bagus. Putusan ini disebut putusan yang sintetis, karena
menambahkan sesuatu yang baru terhadap subjeknya dan diperoleh secara a posteriori,
atau melalui pengalaman dengan melihat meja itu dan membandingkan dengan
meja-meja lain. Inilah putusan yang dihasilkan oleh empirisisme.
Dalam putusan yang lain seperti “lingkaran adalah
bulat”, ternyata predikatnya (bulat) tidak memberi sesuatu yang baru terhadap
subjeknya (lingkaran). Maka hal ini disebut putusan yang analitis, dan
bersifat a priori, atau bisa diperoleh hanya
melalui kegiatan pemikiran akali saja tanpa dibutuhkannya suatu pengalaman.
Inilah putusan yang dihasilkan oleh rasionalisme.
Menurut Kant, syarat dasar bagi suatu pengetahuan
adalah bersifat umum dan perlu mutlak namun sekaligus memberi pengetahuan yang
baru. Empirisme memberikan putusan-putusan yang sintetis, jadi tidak mungkin
empirisme memberikan suatu yang bersifat umum dan perlu mutlak. Sebaliknya
rasionalisme memberikan putusan-putusan yang analitis, jadi tidak memberikan
suatu pengetahuan yang baru. (Hadiwijono, 1980 : 65-66)
Demikianlah, ternyata baik empirisisme maupun
rasionalisme tidak memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh ilmu pengetahuan.
Maka dari itu, perlu diselidiki bagaimana membuat suatu putusan-putusan yang sintetis a priori,
yaitu suatu putusan yang mampu memberikan sesuatu yang baru, namun tidak perlu
tergantung dari pengalaman. Demikianlah bahwa filsafat Kant juga bersifat
transendental, yang berusaha meneliti bagaimana cara seseorang untuk mengenal
segala sesuatu. (Hadiwijono, 1980 : 65)
Segala pengalaman terjadi karena penggabungan dua
faktor, yaitu pengamatan inderawi dan penyadaran akal. Dalam kesadaran
sehari-hari, kedua faktor ini tidak terpisahkan. Akan tetapi dalam hal ini
secara teoretis keduanya harus dipisahkan, dengan maksud supaya masing-masing
dapat diselidiki kemungkinan dan keadaannya secara transendental.
Adapun yang kita amati itu bukanlah bendanya
sendiri atau “benda dalam dirinya sendiri” (das ding an sich),
melainkan suatu salinan dari pembentukan benda itu dalam daya-daya inderawi
lahiriah dan batiniah, yang disebut sebagai penampakan atau gejala-gejala
(fenomena). Yang kita amati sesungguhnya bukanlah objek dalam dirinya sendiri,
melainkan gagasan kita tentang objek itu yang nampak pada kita melalui
indera-indera kita, yang menggerakkan daya tangkap indera kita, sehingga kita
membentuknya dalam fantasi menjadi suatu gambaran tertentu. Jadi, mengetahui
bukanlah mengetahui benda dalam dirinya (das ding an sich), melainkan
mengetahui penampakan atau fenomena, sehingga pengertian hanya dapat dipakai
untuk memikirkan penampakan atau fenomena, bukan untuk memikirkan benda dalam
dirinya. (Hadiwijono, 1980 : 67)
Dalam hal ini, proses mengetahui dengan
pengamatan terhadap objek tersebut terletak dan dikuasai oleh kedua bentuk a priori, yaitu
ruang dan waktu. Bagi Kant, ruang dan waktu adalah sebuah “bentuk formal” dari
penginderaan. Bentuk ruang membentuk kesan-kesan inderawi yang lahiriah,
sedangkan waktu membentuk cerapan-cerapan inderawi yang batiniah. Ajaran Kant
tentang etika banyak tertuang dalam bukunya Kritik der praktischen Vernunft (Critique of Practical Reason).
Disana dibicarakan tentang syarat-syarat umum dan yang perlu mutlak bagi
perbuatan kesusilaan. Yang dijadikan pegangan adalah gagasan bahwa ada suatu
“intuisi” yang memberi keyakinan bahwa tiada sesuatu yang lebih tinggi daripada
perbuatan yang dilakukan berdasarkan suatu “kehendak baik”. Kelihatannya naluri
manusia lebih menentukan “kehendak baik” itu. Namun demikian sesungguhnya
naluri senantiasa memperhitungkan faktor-faktor pengalaman. Maka dari itu harus
dicari satu faktor yang semata-mata baik dalam dirinya sendiri dan tidak
tergantung dari apapun, termasuk hasil yang akan diperoleh. Faktor yang
demikian itu hanyalah rasio, yang dalam hal ini dapat memberi suatu patokan
praktis dalam setiap tindakan. (Hadiwijono, 1980 : 74)
Menurut Kant, ada dua bentuk ketetapan kehendak,
yaitu ketetapan subjektif dan ketetapan objektif. Ketetapan subjektif datang
dari subjek dan ada kemungkinan kesewenang-wenangan. Ketetapan yang objektiflah
yang memberi perintah (imperatif), dimana terdapat gagasan tentang suatu asas
yang objektif, yang menjadikan kehendak itu harus terjadi, lepas dari keinginan
pribadi. Jadi, yang menentukan adalah suatu pandangan objektif yang dimiliki
rasio, yang seakan-akan memberi perintah “Berbuatlah menurut motif-motif yang
diberikan oleh rasio.” Disinilah kehendak benar-benar objektif dan bersifat
imperatif.
Tindakan imperatif itu ada dua macam, yaitu
imperatif hipotetis dan imperatif kategoris. Imperatif hipotetis adalah suatu
perintah yang mengemukakan suatu perbuatan sebagai alat untuk mencapai tujuan
tertentu. Yang menjadi tujuan dapat sesuatu yang nyata atau yang mungkin.
Contohnya adalah “Jika ingin pandai maka harus rajin belajar.” (Scruton, 1982)
Imperatif yang kedua adalah imperatif kategoris. Imperatif
kategoris adalah perintah yang tidak tergoyahkan, yang tidak ada hubungannya
dengan tujuan yang hendak dicapai, perintah yang tidak mengenal pertanyaan
“untuk apa berbuat sesuatu ?” Perintah ini hanya memiliki tujuan dalam dirinya
sendiri, dan bersifat formal yang hanya memformulasikan syarat formal yang
harus dipenuhi perbuatan apapun supaya dapat diberi nilai etis yang baik.
Adapun imperatif hipotetis hanya dapat ditaati karena kepentingan
diri sendiri, sehingga tersirat di dalamnya suatu dorongan ego. Tidak demikian
dengan imperatif kategoris, disini kehendak dan hukum adalah satu. Inilah yang
disebut rasio praktis yang murni. Disini tidak ada unsur akal, yang ada hanya
“keharusan” sesuatu yang sekaligus adalah kehendak yang sempurna dan murni. Imperatif
kategoris inilah yang dipandang Kant sebagai asas kesusilaan yang
transendental. Keharusan (sollen) ini mewujudkan segala persoalan etis.
1] The Liang Gie. Pengantar filsafat ilmu. 2004.hal 27-30
No comments:
Post a Comment