Tugas Filsafat Islam
1. Jelaskan Metafisika dan
Episteomologi serta Konsekuensi Filsafat Pragmatis Al Farabi
2. Jelaskan Metafisika Al Razi,
Ajaran tentang Moral dan Penolakan terhadap Kenabian
Jawaban :
1.
Pemikiran
metafisika Al farabi, Metafisika,
menurut al-Farabi dapat dibagi menjadi tiga bagian utama :
1. Bagian yang berkenaan dengan
eksistensi wujud-wujud, yaitu ontologi.
2. Bagian yang berkenaan dengan
substansi-substansi material, sifat dan bilangannya, serta derajat
keunggulannya, yang pada akhirnya memuncak dalam studi tentang “suatu wujud
sempurna yang tidak lebih besar daripada yang dapat dibayangkan”, yang merupakan
prinsip terakhir dari segala sesuatu yang lainnya mengambil sebagai sumber wujudnya,
yaiu teologi.
3. Bagian yang berkenaan dengan
prinsip-prinsip utama demonstrasi yang mendasari ilmu-ilmu khusus.
Hierarki wujud menurut al-Farabi
adalah sebagai berikut :
1. Tuhan
yang merupakan sebab keberadaan segenap wujud lainnya.
2. Para
Malaikat yang merupakan wujud yang sama sekali immaterial.
3.
Benda-benda langit atau benda-benda angkasa (celestial).
4. Benda-benda
bumi (teresterial).
Dengan filsafat emanasi al-Farabi
mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari Yang Esa. Tuhan bersifat
Maha Esa, tidak berubah, jauh dari materi, Maha Sempurna dan tidak berhajat
pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan bagaimana terjadinya alam
materi yang banyak ini dari yang Maha Satu. Emanasi seperti yang disinggung di
atas merupakan solusinya bagi al-Farabi.50
Proses emanasi itu adalah sebagai
berikut, Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini
timbul satu maujud lain. Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu
timbul wujud kedua, dan juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama
(First Intelligent) yang tak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang
wujud pertama dan dari pemikiran ini timbullah wujud ketiga, disebut Akal
Kedua, Al-Farabi menjelaskan hal ini dengan teori emanasi.60 Disini ia
menjelaskan munculnya segala sesuatu dengan tidak melalui Kun Fayakun seperti pemahaman
tradisional. Segala sesuatu dari Wujud Pertama dalam suatu cara yang sangat
sistematis, dan dari sudut pandangan Islam heterodok (mengandung banyak bid’ah)
Al-Farabi seperti Aristoteles
membedakan antara materi (zat) dan bentuk (shurah). Materi sendiri berupa
kemungkinan. Sebagai contoh ia mengemukakan : Kayu sebagai materi mengandung
banyak kemungkinan, mungkin menjadi kursi, lemari dan sebagainya. Kemungkinan
itu baru terlaksana jika sudah menjadi kenyataan kalau diberi bentuk, misalnya
bentuk kursi, lemari, meja dan sebagainya. Dengan cara berpikir demikian,
al-Farabi mengecam pandangan para ahli tafsir pada zamannya. Ciri
rasionalismenya jelas terlihat dari jalan pikirannya yang mengatakan, bahwa
suatu kesimpulan yang diambil di atas dasar-dasar yang kokoh adalah lebih
berhak untuk hidup daripada kepercayaan taklid seluruh umat Islam yang sama
sekali tidak didasari oleh dalil-dalil.
Ada tiga hal pokok yang menjadi
persoalan metafisika, yaitu; Segi esensi (zat) dan eksistensi (wujud) sesuatu,
Pokok utama segala yang maujud, Prinsip
utama tentang gerak dasar menurut ilmu pengetahuan. Dalam pandangan Aristoteles
hakikat sesuatu terdiri dari materi (hule) dan bentuk (form). Materi tidak akan
dapat diketahui hakikatnya kalau belum ada bentuknya. Namun antara materi dan bentuk
tidak dapat dipisahkan. Misalnya papan tulis yang dibikin dari kayu. Kayu
adalah materinya dan bangunan papan bersegi empat itulah bentuknya. Dengan
adanya bentuk dapat diketahui hakikat. Begitu pula dengan kursi meja dan
sebagainya memberi bentuk kepada materi kayu sesuai dengan apa yang kita lihat.
Sepintas lalu dapat dikatakan bahwa bentuk berubah-ubah, tetapi sebenarnya materilah
yang berubah-ubah dalam arti berubah untuk mendapatkan bentuk-bentuk tertentu.
b. epistemology
Al-Farabi membagi ilmu kepada
dua, yaitu konsepsi tasawwur mutlak dan konsep yang disertai keputusan pikiran (judgment-tasdiq).
Diantara konsep itu ada yang baru sempurna apabila didahului oleh yang
sebelumnya sebagaimana tidak mungkin menggambarkan benda tanpa menggambarkan
panjang, lebar dan dalam tiga dimensi. Konsep tersebut tidak mesti diperlukan
pada setiap konsep, melainkan harus berhenti pada suatu konsep yang penghabisan
yang tidak mungkin dibayangkan adanya konsep yang sebelumnya, seperti konsep
tentang wujud, wajib dan mungkin. Kesemuanya ini tidak memerlukan adanya konsep
yang sebelumnya, karena konsep-konsep tersebut adalah pengertian-pengertian
yang jelas dan benar dan terdapat dalam pikiran.
Adapun keputusan pikiran
(judgment-tasdiq), maka diantaranya ada yang tidak bisa diketahui, sebelum
diketahui hal-hal sebelumnya. Seperti pengetahuan bahwa alam ini baru. Untuk
itu diperlukan terlebih dahulu adanya putusan bahwa alam ini tersusun, dan tiap
yang tersusun berarti baru. Ini adalah hukum-hukum pikiran dasar dan yang jelas
dalam akal, seperti halnya dengan hukum yang mengatakan bahwa keseluruhan lebih
besar dari sebagian. Kesemuanya ini adalah pikiran-pikiran yang terdapat dalam
akal dan yang bisa dikeluarkan sebagai pengingatan karena tidak ada sesuatu yang
lebih terang dari padanya dan tidak perlu dibuktikan karena sudah jelas dengan
sendirinya. Juga hukum-hukum tersebut memberikan keyakinan dan juga merupakan
dasar aksioma.
C. Teori Praktis AL farabi
Menurut al-Farabi perbedaan dasar
antara rasio teortis dan praktis adalah bahwa pembentuk yang menyangkut
pengetahuan tentang sesuatu atau makhluk yang tidak dapat kita membuat atau
merubahnya, sementara yang terahir adalah sebuah sumber pengetahuan tentang
objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang keberadaannya tergantung pada
keinginan manusia. Misalnya, rasio teoritis menyelidiki prinsip-prinsip
matematika secara abstrak tanpa kualifikasi; rasio praktis mengaplikasikan
aturan-aturan tersebut pada tindakan, yang dibuat atau di manipulasi oleh seni
dan keinginan manusia. Pengetahuan tentang apa yang teoritis, dalam pengertian
ini, dapat di akumulasi semata dari pengalaman ekstensif dan penafsiran tentang
apa yang secara praktis terpikir. Jadi penalaran yang dirinya tidak berakar
pada teoritis dapat menuntun pada pemahaman teoritis, karena terdapat sebuah
hubungan antara dua bentuk penalaran, meskipun tidak perlu tergantung pada
preoritas temporal pengalaman praktis yang dalam faktanya dapat menelurkan
kesimpulan-kesimpulan yang salah.
Filsafat menurut pemahaman
al-Farabi adalah semata sebuah kesempurnaan teoritis dan kepastian
demonstrative. Bagi al-Farabi, untuk sampai pada tujuan teoritis filosof,
seseorang menemukan bahwa kegunaan pengetahuan teoritis dan karena itu kuasa
teoritis memberikan dorongan dan cara-cara untuk mencapai kebahagiaan terakhir.
Ketika seseorang mencari kesempurnaan dan kepastian terakhir tersebut, terdapat
dua hasil yang beringingan; pertama, gagal mencapai kepastian atas semua
problem dan oleh karena itu kebingungan antara bagian yang pasti dan hanya
mungkin berhenti pada tataran pendapat dan keyakinan; kedua, kebutuhan
[disiratkan oleh kesempurnaan itu sendiri] atas realisasi, yakni mewujudkannya
pada tindakan nyata.
Menurt al-Farabi, untuk mencapai
level sepenuhnya atas kesempurnaan ini, seseorang harus memanfaatkan makhluk
alamiah lainnya. Jadi, untuk mencapai apakah kesempurnaan mungkin bagi
masing-masing individu, seseorang harus bergaul dengan yang lain. Dari sini
al-Farabi menyimpulkan, “sekarang disana muncul ilmu dan penyelidikan lain yang
meneliti prinsip-prinsip keintelektualan itu dan tindakan-tindakan serta
keadaan-keadaan karakter dengan mana seseorang bekerja menuju kesempurnaan”.
Hal ini merupakan filsafat atau ilmu agama.
Bagi al-Farabi, kemampuan
memperoleh teoritis yang dapat diterima, baik dari proses demonstrasi [filsafat]
atau imitasi [agama], adalah wahyu. Namun hal ini bersifat ekslusif atau tidak
semua orang mampu mengaksesnya, sebab ini bersifat murni intelektual. Orang
bisaa hanya mampu mengakses kategori ‘imitasi’. Imitasi, menurut al-Farabi,
selalu terikat oleh tempat dan waktu, sehingga melahirkan bentuk-bentuk yang
berbeda sesuai dengan waktu dan
Menurut keyakinan al-Farabi,
agama adalah lebih daripada imitasi dari filsafat semata; ia adalah
kesempurnaan sebuah praktis, kebajikan yang disengaja, dan syarat aksi. Dengan
ini maka filsafat agama menjadi sebuah ilmu tentang metode retoris dan puitis,
kekuatan untuk meyakinkan, menanam kebajikan, dan menanamkan cara-cara mencapai
kebahagiaan yang mungkin bagi masing-masing masyarakat setiap Negara. Hal ini
mengindikasikan bahwa lawgiver merupakan orang yang menguasai kedua
metode teoritis tersebut. Dalam arti, mereka menguasai ilmu yang dibangun oleh
metode demonstrative dan sekaligus cara bagaimana hal itu mungkin
diimplementasikan secara praktis. Untuk mengevaluasi atau mengukur kebenaran
penalaran tersebut, al-Farabi menggunakan ukuran tujuan ‘kebahagiaan’. Jika
hasil penalaran itu sesui dengan tujuan akhir ini maka ia benar, namun jika
sebaliknya ia-pun salah.
2.
A.
Metafisika AL Razi
Ajaran Filsafat al Razi dikenal dengan
istilah ajaran lima yang kekal ,
1)
Allah(al-Bari ta’ala) Tuhan
pencipta yang maha tinggi dan maha sempurna. Allahlah yang menciptakan
dan mengatur seluruh Alam, Allah menciptakan Alam bukan dari tiada, tetapi dari
sesuatu yang telah ada, karena itu alam semestinya tidak kekal sekalipun materi
pertama kekal sebab penciptaan disini dalam arti disusun dari bahan yang telah
ada. Ada tiga teori yang menerangkan asal kejadian alam semesta yang mendukung
keberadaan tuhan,
1. Paham
yang mengatakan alam semesta ini ada dari yang tidak ada, ia terjadi dengan
sendirinya,
2. Alam
semesta ini berasal dari sel yang merupakan inti,
3. Alam
semesta ini ada yang menciptakannya
Tuhan, karena kebijakan tuhan itu maha sempurna. Keidaksengajaan
tidak dapat di sifatkan kepada-Nya. Kehidupan berasal darinya sebagaimana sinar
datang dari matahari. Ia mempunyai kepandaian senpurna dan murni. Tuhan
mencitkan sesuatu, tiada bisa menandingi-Nya, dan tak sesuatupun yang dapat
menolak kehendaknya
2) Roh (An-Nafsul
kuliyyah ) Roh atau jiwa adalah merupakan sumber kekal yang kedua, hanya
saja ia tidak seMaha dengan Tuhan, karena ia terbatas dan tentu saja dengan
keterbatasannya itu membutuhkan Tuhan. Hal itu terlihat ketika jiwa, tertarik
dengan materi pertama yang juga kekal. Untuk memenuhi hal itu, Tuhan membantu
jiwa dengan membentuk alam ini (termasuk manusia) melalui materi pertama dengan
susunan yang kuat, sehingga jiwa dapat mencari kesenangan didalamnya. sekaligus
melengkapinya dengan akal agar ia tidak memperturutkan hawa nafsu
3) Materi ( Al-Hayulal
Ula) Materi
merupakan apa yang bisa ditangkap dengan panca indra tentang benda, ia
adalah substansi yang kekal, terdiri dari atom-atom. Menurut Al-Rozi kemutlakan materi yang pertama terdiri atas
atom-atom. Setiap atom mempunyai volume, kalau tidak, maka dengan pengumpulan
atom-atom itu tidak dapat di bentuk. Bila dunia di hancurkan maka ia juga
terpisah-pisah dalam bentuk atom-atom. Dengan demikian materi berasal dari
kekekalan, karena tidak mungkin menyatakan bahwa sesuatu berasal dari
ketiadaan. Apa yang lebih padat menjadi unsur bumi (tanah), apa yang renggang
dari unsur bumi menjadi unsur air, apa yang lebih renggang lagi menjadi unsur
udara, dan yang jauh lebih jarang lagi menjadi unsur
4) Ruang (Al-Makanul
Mutlaq) Menurut al-Razi, ruang
adalah tempat keberadaan materi, kalau materi dikatakan kekal maka dia
membutuhkan ruang yang kekal pula.Menurut Ia ruang tu
ada dua macam, yaitu: ruang universal atau mutlak, dan ruang tertentu atau
relatif. Yang pertama tak terbatas, dan tidak bergantung kepada dunia dan
segala yang ada di dalamnya. Kehampaan ada dalam ruang, dan karenanya, ia
berada dalam materi. Sebagai bukti dari ketidakterbatasan ruang, al-iransyahri
dan al-rozi mengatakan “bahwa wujud yang memerlukan ruang tidak dapat maujud
tanpa adanya ruang, meski ruang bisa maujud tanpa adanya wujud tersebut.
Ruang tak lain adalah tempat bagi wujud-wujud yang membutukan
ruang. Yang berisi keduanya, yaitu wujud atau bukan wujud. Bila wujud, maka ia
harus berada di dalam ruang, dan di luar wujud ini adalah ruang atau tiada
ruang, maka ia adalah wujud dan terbatas. Bila bukan wujud, ia berarti ruang.
Karenannya ruang itu tak terbatas ila orang berkata bahwa ruang mutlak ini tak
terbatas, maka ini berarti bahwa batasannya adalah wujud. Karena setiap wujud
itu terbatas, sedang setiap wujud berada di dalam ruang, maka ruang sebagaimanapun
tak terbatas, yang tak terbatas itu adalah kekal, karenanya ruang itu
kekal. Sedangkan
ruang tertentu (relatif) adalah sebaliknya.
5) Waktu (Az-Zamanul
Mutlaq) Al-Rozi
membagi waktu menjadi dua macam , yaitu; waktu mutlak dan waktu terbatas (mashur).
Waktu mutlak adalah keberlangsungan (al-dhar), ia kekal dan bergerak. Sedang
waktu terbatas adalah gerak lingkungan-lingkungan, matahari dan
bintang-gemintang.Bila anda berfikir tentang gerak keberlangsunga,maka anda
dapat membayangkan waktu mutlak dan ia itu kekal. Jika anda membayangkan gerak
pola bumi, berarti anda membayangkan waktu terbatas
Al-Rozi membuat perbedaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas
aitu di antaranya (al-dahr, duration) dan (al-waqt, time).Yang pertama kekal
dalam arti tidak bermula dan tak terakhir, dan yang kedua di sifati oleh angka.
Dia juga mengatakan dalam kemaujudan lima hal tersebut dalah perlu: kesdaran
bahwa materi terbentuk oleh susunan; ia berkaitang dengan ruang, karena itu
harus ada ruang (tempat); pergantian bentuknya merupakan kekhasan waktu, karena
ada yang dahulu dan ada yang sekarang, dan jarena waktumaka ada kekonoan dan
ada kebaruan, adanya kelebihtuaan dan ad ayang kelebihmudaan; karenannya waktu
itu perlu. Dalam kemaujudan terdapat kehidupan karena iru mesti ada ruh. Dan
dalm hal ini; mesti ada yang di mengertidan hukum yang mengaturnya harus
sepenuhnya sempurna; karena itu, dalam kenyataan ini harus ada pencipta yang
bijaksana, mahatau, melakukan segala sesuatu sesempurna mungkin, dan
memberikabn akal sebagai bekal mencari keselamatan.
Menurut al-Razi, dari lima yang kekal itu ada dua yang hidup,
dan aktif atau bergerak yaitu Tuhan dan Jiwa atau Roh, satu darinya tidak hidup
dan pasif yaitu materi, dan dua lagi yang tidak hidup, tidak bergerak dan tidak
pula pasif yakni ruang dan waktu. Filsafat al-Razi sebenarnya diwarnai
oleh doktrinnya tentang lima ajaran tentang kekekalan tersebut dan kelima hal
inilah yang merupakan landasan ajaran Filsafat yang dibawa oleh al-Razi.
B. Ajaran Tentang
Moral , Terkait dengan filsafat al-Razi tentang moral, dalam bukunya “al Thib
al Ruhani dan al Sirah al Falsafiyyah” al-Razi memiliki pandangan bahwa moral
harus berdasarkan petunjuk rasio. Dengan demikian hawa nafsu mesti diletakkan
dibawah akal dan kendali agama, agar ia tidak melanggar larangan-larangan
Agama. Berkaitan dengan jiwa, Al-Razi mengharuskan seorang dokter untuk
mengetahui dan menguasai kedokteran jiwa, (al-Thibb al-Ruhani) dan kedokteran
tubuh (al-Thibb al-Jasmani) secara bersamaan karena manusia membutuhkan hal itu
secara bersama-sama pula. Hal ini menunjukkan bahwa antara keduanya memiliki
korelasi yang segnifikan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Al-Razi juga
mengutuk akan cinta sebagai suatu keberlebihan dan ketundukan kepada hawa
nafsu, cinta menjadikan seseorang lupa akan dirinya dan tidak bisa berpikir
secara rasional.
C.
Penjelasan
Kenabian Ar rozi
Al-Razi menyanggah
anggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan, manusia membutuhkan nabi serta
wahyu yang diturunkan kepada manusia sebagai aturan serta pedoman dalam
menselaraskan keterbatasan akal. Akal menurut al-Razi adalah karunia Allah yang
terbesar untuk manusia, dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat yang
sebanyak-banyaknya bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, karena
itu manusia tidak boleh menyia-nyiakan akal serta mengekang ruang gerak akal,
akan tetapi memberi kebebasan sepenuhnya dalam segala hal. Dari pandangan
tersebutlah yang menjadikan al-Razi tidak percaya kepada wahyu dan adanya Nabi
seperti yang dijelaskan dalam kitabnya” Naqd al-Adyan au fi al-Nubuwwah”
(Kritik terhadap agama-agama dan nabi). Al-Razi juga tidak hanya mengkritisi
injil dan kitab suci lainnya, bahkan ia juga mengkritisi al-Qur’an berikut
kemu’jizatannya.
Al-Razi adalah
termasuk seorang Rasionalis murni, ia hanya mempercayai terhadap kekuatan akal
dan menjadikan akal diatas segala-galanya namun ia tetap
bertuhan dan tidak percaya pada kekuatan wahyu dan adanya kenabian. Ia
berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui yang baik serta yang
buruk, untuk tahu pada tuhan dan untuk mengatur hidup manusia di
dunia ini. Berikut alasan-alasan pokok penolakan Al-Rozi.
Bantahan Al-Rozi terhadap kenabian dengan alasan sebagi berikut:
1. Bahwa akal sudah memadai untuk membedakan antara yang
baik dan yang buruk, yang benar dan yang jahat, yang berguna dan yang tak
berguna. Melalui akal manusia dapt mengetahui tuhan dan mengatur kehidupan kita
sebaik-baiknya.
2. Tidak ada keistimewaan bagi beberapa orang untuk
membimbing semua orang, sebab setiap orang lahir dengan kecerdasan yang sama,
perbedaanya bukan hanyalah karena pembawaan alamiah, tetapi karena pengembangan
dan pendidikan (eksperimen)
3. Para nabi saling bertentangan. Apabila berbicara atas
nama satu tuhan mengapa implementasi mereka terhadap pertentangan?. Setelah
menolak kenabian, kemudian al-rozi mengritik agama secara umum. Ia menjelaskan
kontradiksi-kontradiksi kaum yahudi, kristen maupun majusi. Pengikatan manusia
terhadap agama adalah karena meniru dan kebiasaan, kekuasaan ulama yang
mengabdi negara dan manifestasi lahiriah agama, upacara-upacara dan peribadatan
yang mempengaruhi yang sederhana serta dan naif.
No comments:
Post a Comment