Wacana tentang
pluralisme masih begitu penting dan krusial, karena hal tersebut masih terkait
erat dengan masalah teologis. Tidak semua umat beragama sepakat mengatakan ada
kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran “kitab suci”masing-masing Agama selalu
mengarahkan para pemeluknya untuk meyakini bahwahanya Agama-nya adalah Agama
yang paling benar.
Meskipun sudah dinyatakan sebagai paham yang bertentangan dengan Islam oleh Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwa tahun 2005, paham Pluralisme Agama masih terus disebar luaskan oleh para pemeluknya. Selain karena ada yang menganggap paham ini bermanfaat untuk meredam konflik antar-umat beragama, paham ini memang laku dijual.
Meskipun sudah dinyatakan sebagai paham yang bertentangan dengan Islam oleh Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwa tahun 2005, paham Pluralisme Agama masih terus disebar luaskan oleh para pemeluknya. Selain karena ada yang menganggap paham ini bermanfaat untuk meredam konflik antar-umat beragama, paham ini memang laku dijual.
Sebab, paham ini memang sangat laku ditawarkan
kepada lembaga-lembaga masyarakat Barat. Karena itulah, bisa dipahami jika
paham ini termasuk isu favorit di kalangna kaum liberal. Salah satu program
utama liberalisasi Islamdi Indonesia, menurut Greg Barton, adalah penyebaran
paham Pluralisme Agama. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan mengatakan
bahwa masyarakat kita (Indonesia) majemuk,beraneka ragam, yang terdiri dari
berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi,
bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak bisadipahami sekedar sebagai “kebaikan
negatif”, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Namun,
Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan
keadaan”, bahkan Pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia,
antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya.
Islam sebagai agama rahmatan lil
‘alamin harus membuka diri dengan agama-agamalain, serta tidak perlu
menganggap bahwa dirinya adalah agama yang paling benar diantara agama-agama
yang lain, karena pada dasarnya semua agama itu tujuan utamanya adalah sama
yaitu Tuhan.
Namun, bagaimana sikap Islam ditengah keberagaman agama yang ada
di Indonesia?
Pada saat ini sebagaimana dikatakan oleh Alwi Shihab
dalam Islam Inklusif, bahwa umat beragama dihadapkan kepada serangkaian
tantangan baru yang tidak
terlalu berbeda dengan
apa yang pernah dialami
sebelumnya. Pluralisme agama, konflik intern atau antar agama adalah fenomena
nyata. Pluralisme agama dalam hal ini, harus benar-benar dapat dimaknai sesuai
dengan akar kata serta makna
sebenarnya. Hal itu
merupakan upaya penyatuan
persepsi untuk menyamakan pokok bahasan sehingga tidak akan terjadi “misinterpretation” maupun “misunderstanding”. Bertolak dari akar kata yang pertama
yaitu pluralisme, kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris yang berakar dari kata “plural” yang berarti
banyak atau majemuk. Atau meminjam definisi Martin H. Manser dalam Oxford Learner’s Pocket
Dictionary: Plural (form of a word) used of
referring to more than one”. Sedangkan
dalam Kamus Ilmiah Populer, pluralisme
berarti: “Teori yang
mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi”. Secara bahasa, pluralisme berasal dari dari kata
pluralism berarti jama’ atau lebih dari satu. Sedangkan secara istilah,
pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak, atau
banyak. Lebih dari itu, pluralisme secara substansional termanifestasi dalam
sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan
bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak, atau
banyak.
Dalam hal ini beberapa tokoh juga mendenifinisikan
pluralisme dalam berbagai pendapatnya antara lain: Menurut Alwi Shihab,
pengertian pluralisme dapat disimpulkan menjadi
yaitu: pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang
adanya kemajemukan. Namun, yang
dimaksud pluralisme adalah
keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Kedua,
pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Dalam
hal ini Kosmopolitanisme menunjuk
suatu realitas di mana aneka ragam ras dan bangsa hidup
berdampingan di suatu lokasi. Maksudnya walaupun suatu ras dan bangsa tersebut
hidup berdampingan tetapi tidak ada interaksi sosial. Ketiga, konsep pluralisme
tidak dapat disamakan dengan
relativisme. Paham relativisme menganggap “semua agama adalah
sama”. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu
agama baru dengan memadukan unsur tertentu
atau sebagian komponen ajaran
dari beberapa agama
untukdijadikan bagian integral dari agama tersebut.
Selanjutnya menurut Moh. Shofan pluralisme adalah upaya untuk membangun tidak saja kesadaran normatif teologis tetapi juga kesadaran sosial,
di mana kita hidup di
tengah masyarakat yang plural
dari segi agama, budaya, etnis, dan berbagai
keragaman sosial lainnya. Karenanya,
pluralisme bukanlah konsep teologis semata, melainkan juga konsep sosiologis. Sementara itu Syamsul Ma’arif mendefinisikan pluralisme
adalah suatu sikap saling mengerti, memahami, dan
menghormati adanya perbedaan-perbedaan demi tercapainya kerukunan antarumat
beragama. Dan dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama tersebut, umat
beragama diharapkan masih memiliki komitmen
yang kokoh terhadap
agama masing-masing.
Dari beberapa definisi
di atas dikatakan bahwa pluralisme merupakan
suatu faham tentang kemajemukan yang mana
terdapat beraneka ragam ras dan agama
yang hidup berdampingan dalam
suatu lokasi.
Di
sini
pluralisme tidak
hanya
sekedar hidup berdampingan tanpa mempedulikan
orang lain. Hal
itu membutuhkan ikatan, kerjasama, dan kerja yang nyata. Ikatan komitmen
yang paling dalam, perbedaan yang
paling mendasar dalam menciptakan masyarakat secara bersama-sama menjadi unsur utama dari pluralism.
Setelah
mengetahui berbagai definisi pluralisme, maka akan didapat pengertian
pluralisme agama adalah suatu sikap membangun tidak saja kesadaran normatif
teologis tetapi juga kesadaran sosial, di mana kita hidup di tengah masyarakat
yang plural dari segi agama, budaya, etnis,
dan berbagai keragaman
sosial lainnya. Selain itu,
pluralisme agama juga harus dipahami sebagai pertalian sejati dalam
kebhinekaan.
Menurut Nurcholis
Madjid, pluralism agama dapat
diambil melalui tiga sikap agama:
a.
Sikap eksklusif
Dalam
melihat agama lain. Sikap ini memandang agama-agama lain adalah jalan yang
salah, yang menyesatkan umat.
b.
Sikap inklusif
Sikap
ini memandang agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita.
c.
Sikap pluralis
Sikap ini bisa terekspresikan dalam macam- macam
rumusan, misalnya “agama-agama lain adalah jalan
yang
sama-sama sah
untuk mencapai kebenaran yang sama”,
“agama- agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran yang
sama sah”, atau “setiap agama mengekspresikan bagian penting bagi sebuah
kebenaran”.
Selanjutnya
menurut Nurcholis Madjid yang dikutip Rachman, mengatakan
bahwa pluralisme agama tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa
masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, berdiri dari berbagai suku dan
agama yang justru
hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme agama
harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan- ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bond of
civility).
Latar Belakang Munculnya Pluralisme Agama
Setelah dunia Islam menjadi negara-negaara merdeka pasca perang dunia I dan perang
dunia II, ada beberapa masalah yang
perlu tanggapan segera dari pemimpin dan tokoh umat Islam.
Selain yang menyangkut hubungan antara Agama dan negara
(din wan daulah), ada pula masalah yang berhubungan dengan tatanan kelembagaan
masyarakat termasuk partai politik dan
organisasi masyarakat. Faktor tersebutlah salah satu yang melatarbelakangi
munculnya pluralisme agama karena banyaknya konflik-konflik yang muncul setelah
banyak perpecahan baik dalam Agama, budaya dan tatanan masyarakat itu
sendiri.Sebagai konsep plural
yang dapat di
artikan sebagai
keanekaragaman wacana pluralisme
juga tidak terlepas dari konsep teologi agama karena didalamnya masih
banyak membahas sisi agama dari sara’
semata tanpa memandang
wilayah sosial dan iptek yang telah berkembang di masa
sekarang. Pada tataran Teologis, dalam pendidikan agama perlu mengubah paadigma
teologis yang pasif, tekstual dan eksklusif. Menuju teologi yang saling
menghormati, saling mengakui eksistensi, berfikir dan bersikap positif, serta
saling memperkaya iman. Hal ini dengan tujuan
untuk membangun interaksi
umat beragama dan antar umat
beragaama yang tidak hanya berkoeksistensi
secara harmonis dan
damai, tetapi juga bersedia aktif dan pro aktif bagi kemanusiaan.
Yang melatar belakangi kemunculan pluralisme memang
tidak terlalu jauh membahas tentang keanekaragaman dan konflik internal agama.
Dalam pergaulan antar agama dewasa ini, memang semakin hari semakin merasakan
intensnya pertemuan agama- agama itu. Pada tingkat pribadi, sebenarnya hubungan
antar tokoh-tokoh agama
di Indonesia pada khususnya, kita melihat suasana yang
semakin akrab, penuh toleransi, dengan keterlibatan yang sungguh- sungguh dalam
usaha memecahkan persoalan- persoalan hubungan antar agama yang ada di dalam
masyarakat. Tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari agama itu
muncul kebingungan- kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana kita harus
mendefinisikan diri di tengah agama-agama lain yang juga
eksis dan punya
keabsahan. Dalam persoalan ini
di diskusikanlah apakah ada kebenaran dalam agama lain yang implikasinya adalah
berakar dalam pertanyaan teologis yang sangat mendasar. Faktor tersebutlah
yang paling utama melatarbelakangi munculnya pluralisme.
Sebab-sebab lain lahirnya teori
pluralisme banyak dan beragam,
sekalipun kompleks.
Namun secara umum
dapat di klasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal
(ideologis) dan faktor eksternal, yang mana antara satu faktor dan faktor
lainnya saling mempengaruhi dan saling berhubungan erat. Faktor internal
merupakan faktor yang timbul akibat tuntunan akan kebenaran
yang mutlak (absolute
truthclaims) dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah
akidah, sejarah maupun
dalam masalah keyakinan atau doktrin. Faktor ini sering
juga di namakan dengan faktor ideologis. Adapun faktor yang timbul dari luar
dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu factor
sosio-politis dan faktor ilmiah.
a. Faktor ideologis (internal).
Faktor
internal di sini yaitu mengenai masalah teologi. Keyakinan seseorang yang serba
mutlak dan absolut dalam apa yang di yakini dan di imaninnya merupakan hal yang
wajar. Sikap absolutisme agama tak ada yang mempertentangkannya hingga
muncul teori tentang relativisme
agama. Pemikiran relativisme ini merupakan sebuah sikap pluralisme terhadap agama.
Dalam konteks ideologi ini, umat manusia terbagi menjadi dua bagian, yang
pertama mereka yang beriman dengan teguh terhadap wahyu langit atau samawi,
sedangkan kelompok yang kedua mereka yang tidak beriman kecuali hanya kepada
kemampuan akal saja (rasionalis).
b. Faktor Eksternal
Di
samping faktor-faktor internal tersebut di atas tadi, terdapat juga dua faktor
eksternal yang kuat dan mempuyai
peran kunci dalam menciptakan iklim yang kondusif dan
lahan yang subur bagi tumbuh berkembangnya teori pluralisme.
Kedua
faktor tersebut adalah faktor sosio-politis dan faktor ilmiah:
1) Faktor Sosio-Politis
Dimana
faktor yang mendorong munculnya teori pluralisme agama
adalah berkembangnya wacana-wacana sosio politis, demokratis dan nasionalisme
yang telah melahirkan sistem negara-bangsa
dan kemudian mengarah pada apa yang dewasa ini di kenal dengan
globalisasi, yang merupakan hasil praktis dari
sebuah proses sosial
dan politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad.
2)
Faktor Keilmuan atau Ilmiah
Pada hakikatnya terdapat banyak faktor keilmuan yang
berkaitan dengan pembahasan ini. Namun yang memiliki kaitan langsung dengan
timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah maraknya studi-studi ilmiah
modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering juga di
kenal dengan studi
perbandingan agama. Evolusi politik dan ekonomi teleh memberikan pengaruh
yang sebanding terhadap evolusi
sosial budaya begitu juga sebaliknya. Di antara keduanya terdapat hubungan implikatif dan
timbal balik. Terlepas dari
motifasi dan tujuan yang ada dibaliknya kajian ini telah berkembang begitu
cepat baik dalam metodologi maupun materinya, sehingga memungkinkannya untuk membuat penemuan-penemuan, tesis,
teori, kesimpulan-kesimpulan dan pengayaan yang baru.
Dengan
kata lain peran
penting studi agama modern adalah
sebagai supplier para filosof agama dan teolog dengan
pengetahuan
–
pengetahuan dan data – data lengkap yang dapat
membantu peran dan
tugas utama mereka, yakni
memahami hakikat agama. Dari presentasi dan analisis ini dapat kita lihat
pengaruh yang jelas dari kajian – kajian “ilmiah” perbandingan agama dalam
perkembangan teori- teori pluralisme agama.
Akhirnya,
sampai batas tertentu dapat disimpulkan, bahwa munculnya gagasan
pluralisme agama modern
dengan berbagai tren dan
bentuknya, memberi gambaran fakta yang telanjang betapa besarnya usaha Barat
yang liberal dan sekuler untuk menjadi dominandan hegemonik bahkan dalam
pemikiran dan teologi keagamaan. Sekulerisme yang kini mendominasi peradaban
Barat telah berhasil mengubah kristen untk menyebarluaskan gagasan pluralisme
agama (apakah mereka sungguh – sungguh menerimanya atau
tidak, perkara lain
lagi).
Tujuan Pluralisme Agama
Melalui
pluralisme kita diantarkan pada penciptaan perdamaian dan upaya menanggulangi
konflik yang akhir-akhir ini marak
baik di luar negeri maupun di
Indonesia sendiri, sebab nilai dasar dari pluralisme adalah penanaman dan pembumian nilai toleransi, empati, simpati,
dan solidaritas sosial. Akan
tetapi untuk merealisasikan tujuan pluralisme seperti itu, perlu memperhatikan konsep unity in diversity dengan
menanamkan kesadaran bahwa keragaman dalam hidup
sebagai suatu kenyataan dan memerlukan kesadaran bahwa moralitas dan kebijakan
bisa saja lahir (dan memang ada) dalam konstruk agama- agama lain. Tentu saja
penanaman konsep seperti ini dengan tidak
mempengaruhi kemurnian masing-
masing agama yang diyakini kebenarannya oleh kita semua.
Dalam
hal ini beberapa
tokoh menyebutkan tujuan
pluralisme dalam berbagai pendapatnya antara lain: Menurut Jalaluddin
Rahmat tujuan pluralisme agama ialah untuk menegaskan unsur asasi yang
mempersatukan semua agama dan menjadi syarat untuk memperoleh pahala Allah.
Selanjutnya Abdurrahman Wahid pluralisme bertujuan untuk mempertahankan atau
penyatu dan perekat suatu negara. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan
pengembangan konsep pluralisme.
Di samping itu pluralisme juga bertujuan menghormati
perbedaan, karena semakin mengeratkan
nilai pluralisme (keragaman) yang
di yakini oleh seseorang. Maka dengan itu,
muncul sikap menghormati keyakinan agama lain sehingga tercipta
perdamaian abadi dan saling menghormati antarumat beragama, bangsa, dan antar
manusia. Sedangkan Nurcholis Madjid yang dikutip Nur Khalik Ridwan mengatakan
bahwa pluralisme bertujuan mendekonstruksi absolutisme, menegaskan relativisme
dan membumikan toleransi setiap
perbedaan, heterogenitas dan kemajemukan bukan hanya dianggap sebagai fakta
yang harus diakui, tetapi kemajemukan dilihat dan diperlakukan sebagai bentuk
positivisme, bukan negativisme.
Dari pemaparan
di atas terlihat jelas bahwa tujuan pluralisme agama
adalah pluralisme sebagai
alat untuk penyatu dan perekat suatu negara, baik itu dari golongan bawah, menengah maupun
golongan atas. Di samping itu seorang pluralis yang mengusung pluralisme dengan cara- cara
pluralisasinya harus mengakui dan menjaga adanya perbedaan,
kemajemukan, dan heterogenitas ini untuk dijadikan hal
yang bermanfaat.
Tantangan
Pluralisme Agama
Dalam sebuah aliran, gerakan, organisasi, ataupun
sebuah paham tetulah mempunyai sebuah tantangan, begitu pula dengan pluralisme
agama yang tidak asing lagi. Secara jujur harus diakui bahwa pemahaman dan
sekaligus kesadaran sebagian kaum muslimin di Indonesia terhadap pluralisme
masih mengalami kesenjangan yang sangat jauh. Pluralisme masih diposisikan sebagai
musuh bersama atas
nama ’agama’ yang harus dilenyapkan dari segenap nalar kaum muslimin. Hal
ini dikarenakan pluralisme dipandang sebagai satu paham yang mengarah pada
praktik penghancuran terhadap batas-batas agama, dan akibat lanjutannya
adalah kabur atau
hilangnya identitas agama.
a.
Tantangan Indonesia
Indonesia merupakan negara yang kaya akan ‘warna’etnis, bahasa, budaya, dan
agama.
Dalam kondisi masyarakat majemuk itu, tentu sangat rentan terjadinya perpecahan
bangsa. Guna menjaga persatuan dan
kesatuan, diperlukan perekat yang
kuat
yang
mampu mengantisipasi dan
menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Indonesia memiliki pancasila yang
disepakati mewadahi dan melindungi kelestarian kemajemukan tadi, sehingga
diharapkan ia dapat menjadi perekat yang kuat bagi keutuhan bangsa.
Namun dalam kenyataan, pancasila belum sepenunya
dijadikan sebagai perekat bangsa, terbukti masih ada konflik bahkan kerusuhan
yang berlatar belakang kesukuan, pertikaian antar golongan atau partai politik,
dan konflik yang berlatar belakang perbedaan agama yang masih terjadi
dimana-mana. Selain itu, sering pula terjadi perlakuan diskriminatif dan
dominasi mayoritas terhadap minoritas, atau penindasan yang kuat terhadap yang
lemah. Apapun alasannya, jika hal itu terjadi, persatuan bangsa akan sulit
dipertahankan. Itulah sebabnya, di sini diperlukan kearifan dan kesadaran dari
berbagai pihak, demi keutuhan dan persatuan
bangsa yang majemuk seperti Indonesia ini.
Sampai
saat ini pula
masih menjadi momok yang
menakutkan bagi kalangan masyarakat
Indonesia pasca-keluarnya fatwa
Majlis Ulama Indonesia (MUI) keragaman yang semestinya dapat mendorong kita
pada kehidupan yang harmonis, justru diciderai oleh fatwa yang tidak
bertanggungjawab tersebut. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
sebelum fatwa MUI tersebut, kehidupan masyarakat beragama yang relatif
harmonis, tiba-tiba berubah menjadi ketegangan yang pada akhirnya berbuah
konflik di mana-mana, seperti di Ambon, Poso, dam Maluku. Konflik tersebut juga
tidak menutup kemungkinan di
tahun-tahun mendatang akan terus menjadi ancaman sekaligus tantangan
agama-agama.Berdasarkan pemaparan di atas, tantangan pluralisme yang
ada di Indonesia
adalah bersumber dari tokoh
masyarakat itu sendiri (MUI) yang tidak setuju dengan
adanya pluralisme agama yaitu dengan mengeluarkan fatwanya yang secara tegas
melarang adanya pluralisme agama. Justru dengan adanya fatwa tersebut menjadi
pemicu awal konflik yang terjadi di mana-mana.
Kontroversi
Pluralisme Agama
a) Pro pluralisme
para
cendikiawan muslim Indonesia telah terlibat dalam sejumlah diskursus tentang
Islam dan pluralisme. Bertolak dari pandangan bahwa Islam merupakan agama
kemanusiaan (fitrah), yang berarti cita-citanya sejajar dengan cita-cita
kemanusian universal, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa cita-cita keislaman
sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya. Ini adalah salah satu
pokok ajaran Islam. Oleh karena itu sistem politik yang sebaiknya diterapkan di
Indonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi juga
membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat.
Dengan
kata lain diperlukan sistem yang menguntungkan semua pihak, termasuk mereka
yang non-muslim. Hal ini papar Nurcholis sejalan dengan watak inklusif Islam.
Indonesia. Menurutnya, pandangan ini telah memperolah dukungan dalam sejarah
awal Islam. Nurcholis menyadari bahwa masarakat Indonsesia sangat pluralistik
dari segi entnis, adat-istiadat, dan agama. Dari segi agama, selain Islam,
realitas menunjukan bahwa hampir semua agama,khususnya agama-agama besar dapat
berkembanag subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Oleh sebab itu
masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi sangat penting. Nurcholis
optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini, Islam telah membuktikan
kemampuannya secara menyakinkan.
Fakta
bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan aspirasi terhadap pluralisme,
sangat kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula mencerminkan
tekad dari berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan
(comon platform) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki
pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragamaan, aliran
politik dan keagaman, sejak zaman pra kemerdekaan sampai sesudahnya. Nurcholis
melihat ideologi negara Pancasilalah yang telah member kerangka dasar bagi
masyarakat Indonesia dalam masalah pluralism keagamaan.
Sementara
itu Abdurrahman Wahid juga melihat hubungan antara Islam dengan pluralisme
dalam konteks manifestasi universalisme dalam kosmopolitanisme ajaran Islam.
Menurutnya, Islam ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme. Adalah
lima jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik secara
perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar tersebut adalah :
(1) Keselamatan Fisik warganegara
(2) keselamatan keyakinan agama
masing-masing,
(3) Keselamatan keluarga dan
keturunan,
(4) Keselamatan harta benda dan
milik pribadi, dan
(5) Keselamatan profesi.
Dalam
konteks masayarakat Indonesia yang pluralistik ini, Abdurrahman mengharapkan
agar cita-cita untuk menjadikan Islam dan umat Islam sebagai “pemberi warna
tunggal” bagi kehidupan masyarakat disamping. Ia juga menolak jika Islam
djadikan “alternatif” terhadap kesadaran berbangsa yang telah begitu kuat tertanam
dalam kehidupan masyarakat Islam sebaiknya menempatkan ciri sebagai faktor
komplementer, dan bukan mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan
demikian format perjuangan Islam pada akhirnya partisipasi penuh dalam upaya
membentuk Indonesia yang kuat, demokratis, dan penuh keadilan. Tujuan akhinya
adalah mengfungsikan Islam sebagai kekuatan integrative dalam kehidupan
berbangsa.
b) Kontra pluralisme
Berbeda
dengan dua tokoh di atas, yang melihat pergumulan Islam dengan pluralisme dalam
perspekktif substansi ajaran Islam, Kuntowijoyo lebih mengaitkannya dengan
setting sosial budaya. Bagi Kunto peradaban Islam itu sendiri merupakan sistem
yang terbuka. Artinya peradaban Islam menjadi subur di tengah pluralis budaya
dan peradaban dunia. Meskipun demikian peradaban dan kebudayaan Islam juga
bersifat orsinil dan otentik, yang mempunyai ciri dan kepribadian tersendiri.
Kunto berpendapat bahwa umat Islam dapat menerima aspek- aspek positif dari
ideologi atau paham apapun, tetapi pada saat yang sama, perlu didasari bahwa
Islam itu otentik, memiliki kepribadian yang utuh dan sistem tersendiri. Dalam
konsteks Indonesia, Kunto berpendapat bahwa umat Islam, terutama
cendikiawannya, harus dapat memadukan kepentingan nasioanal dan kepentinagan
Islam.
Kaitannya
dengan kehidupan beragama di Indonesia, Kunto menawarkan dua persoalan untuk
dicermati, yaitu solidaritas antar agama dan pluralisme positif. Mengenai
solidaritas, ada dua tahap yang menentukan kemajuan dalam hubungan antar agama,
yaitu dari kerukunan menuju kerja sama. Kemajuan itu adalaah dari inward
looking (meliahat ke dalam) ke outward looking (melihat keluar). Setelah adanya
rangkaian “kesalahpahaman” di antara pemeluk-pemeluk agama di Indonesia, pada
waktu menteri agama dijabat oleh Mukti Ali (1970). Istilah kerukunan antar umat
beragama mulai digulirkan. Sejak saat itu terjadi perdebaatan mengenai makna
dan praktek toleransi, apakah toleransi itu dikenakan kepada mayoritas atau
minoritas. Kesimpulan di atas kertas selalu kedua-duanya, tatapi di lapangan,
kerukunan tidak pernah terjadi. Ketakutan akan Kristenisasi di daerah Islam dan
Isalmiasasi di daerah kristen saling menghantui kedua belah pihak, dan ini
tidak menguntungan bagi upaya menciptakan kerukunan. Pada tahun 1970-1990
kerukunan tidak pernah terjadi dalam praktek kehidupan masyarakat Indonesia.
Hal ini
terjadi ,menurut Kunto,karena masing-masing agama melihat ke dalam (inward
lokking). Solidaritas yag betul-betul terjadi pada tahun 1990-an, dengan tema
baru, bukan lagi dialog antar agama, tetapi out ward looking yaitu memikirkan
bersama bangsa ini. Itulah yang terjadi dalam forum-forum cendekiawan umat
beagama. Pluralisme positif adalah kaidah bersama yang ditawarkan Kunto dalam
hubungan antar agama. Kaidah ini diperlukan agar tidak terjadi hubungan
berdasarkan prasangka. Kaidahnya adalah bahwa
selain agama sendiri ada agama lain yang harus dihormati (pluralisme),
dan masing-masing agama harus tetap memegang teguh agamanya. Pluralisme menjadi
negative apabila orang mengumpamakan agama seperti baju, yang dapat
diganti-ganti semaunya. Pluralisme positiflah yang dipraktekkan Rasul di
Madinah. Senada dengan Kuntowijoyo, Alwi Sihab menyatakan bahwa apabila konsep
pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka harus ada satu syarat,
yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam
berintraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri,
belajar, dan menghormati mitra dialognya, tetapi juga harus commited terhadap
agama yang dianutnya. Hanya dengan sikap demikianlah kita dapat menghindari
relativisme agama yang tidak sejalan dengan konsep Bhineka Tunggal Ika.
Kesimpulan
1.
Pluralisme dapat diartikan
sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama,
dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi
bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika
para pengikutnya.
2. Gagasan pluralisme merupakan
ide yang berhubungan erat dengan sekulerisme yang memandang bahwa agama harus
dipisahkan dalam kehidupan publik.
Punk. Zie.
”Islam dan Pluralisme diIndonesia”http://agama.kompasiana.com/2010/07/10/islam-dan-pluralisme-di-indonesia/
Senin,7 November 2012.
Zacky. Abah.
“Pluralisme Agama Dalam Pandangan Islam.“http://www.muslimdaily.net/artikel/studiislam/pluralisme-agama-dalam-pandangan-islam.html.
Senin, 7 November 2012.
No comments:
Post a Comment