Follow Us @soratemplates

Sunday, 23 September 2018

Pluralisme dalam Agama Islam

(pict: Cultural-pluralism.jpg)


Wacana tentang pluralisme masih begitu penting dan krusial, karena hal tersebut masih terkait erat dengan masalah teologis. Tidak semua umat beragama sepakat mengatakan ada kebenaran lain di luar agamanya. Ajaran “kitab suci”masing-masing Agama selalu mengarahkan para pemeluknya untuk meyakini bahwahanya Agama-nya adalah Agama yang paling benar.
Meskipun sudah dinyatakan sebagai paham yang bertentangan dengan Islam oleh Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwa tahun 2005, paham Pluralisme Agama masih terus disebar luaskan oleh para pemeluknya. Selain karena ada yang menganggap paham ini bermanfaat untuk meredam konflik antar-umat beragama, paham ini memang laku dijual.
 Sebab, paham ini memang sangat laku ditawarkan kepada lembaga-lembaga masyarakat Barat. Karena itulah, bisa dipahami jika paham ini termasuk isu favorit di kalangna kaum liberal. Salah satu program utama liberalisasi Islamdi Indonesia, menurut Greg Barton, adalah penyebaran paham Pluralisme Agama. Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita (Indonesia) majemuk,beraneka ragam, yang terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak bisadipahami sekedar sebagai “kebaikan negatif”, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Namun, Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan keadaan”, bahkan Pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin harus membuka diri dengan agama-agamalain, serta tidak perlu menganggap bahwa dirinya adalah agama yang paling benar diantara agama-agama yang lain, karena pada dasarnya semua agama itu tujuan utamanya adalah sama yaitu Tuhan. 

Namun, bagaimana sikap Islam ditengah keberagaman agama yang ada di Indonesia?

Pada saat ini sebagaimana dikatakan oleh Alwi Shihab dalam Islam Inklusif, bahwa umat beragama dihadapkan kepada serangkaian tantangan baru  yang  tidak  terlalu  berbeda  dengan  apa  yang pernah dialami sebelumnya. Pluralisme agama, konflik intern atau antar agama adalah fenomena nyata. Pluralisme agama dalam hal ini, harus benar-benar dapat dimaknai sesuai dengan akar kata serta makna  sebenarnya.  Hal  itu  merupakan  upaya penyatuan persepsi untuk menyamakan pokok bahasan sehingga tidak akan terjadi “misinterpretation” maupun “misunderstanding”. Bertolak dari akar kata yang pertama yaitu pluralisme, kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris yang berakar dari kata plural yang berarti banyak atau majemuk. Atau meminjam definisi Martin H. Manser  dalam  Oxford  Learner’s  Pocket  Dictionary: Plural (form of a word) used of referring to more than one”.  Sedangkan dalam Kamus Ilmiah Populer, pluralisme   berarti:   “Teori   yang   mengatakan bahwa realitas terdiri dari banyak substansi”. Secara  bahasa, pluralisme berasal dari dari kata pluralism berarti jama’ atau lebih dari satu. Sedangkan secara istilah, pluralisme bukan sekedar keadaan atau fakta yang bersifat plural, jamak, atau banyak. Lebih dari itu, pluralisme secara substansional termanifestasi dalam sikap untuk saling mengakui sekaligus menghargai, menghormati, memelihara, dan bahkan mengembangkan atau memperkaya keadaan yang bersifat plural, jamak, atau banyak.
Dalam hal ini beberapa tokoh juga mendenifinisikan pluralisme dalam berbagai pendapatnya antara lain: Menurut Alwi Shihab, pengertian pluralisme dapat disimpulkan menjadi  yaitu: pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun, yang   dimaksud   pluralisme   adalah   keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme.  Dalam  hal  ini Kosmopolitanisme   menunjuk   suatu   realitas   di mana aneka ragam ras dan bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi. Maksudnya walaupun suatu ras dan bangsa tersebut hidup berdampingan tetapi tidak ada interaksi sosial. Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan  relativisme.  Paham  relativisme menganggap “semua agama adalah sama”. Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan  unsur  tertentu  atau  sebagian komponen   ajaran   dari   beberapa   agama   untukdijadikan bagian integral dari agama tersebut.
Selanjutnya menurut Moh. Shofan pluralisme adalah upaya untuk membangun tidak saja kesadaran normatif teologis tetapi juga kesadaran sosial, di mana kita hidup di tengah masyarakat yang plural dari segi agama, budaya, etnis,  dan  berbagai  keragaman  sosial  lainnya. Karenanya, pluralisme bukanlah konsep teologis semata, melainkan juga konsep sosiologis. Sementara itu Syamsul Ma’arif mendefinisikan   pluralisme   adalah   suatu   sikap saling mengerti, memahami, dan menghormati adanya perbedaan-perbedaan demi tercapainya kerukunan antarumat beragama. Dan dalam berinteraksi dengan aneka ragam agama tersebut, umat beragama diharapkan masih memiliki komitmen  yang  kokoh  terhadap  agama  masing-masing.
Dari beberapa definisi di atas   dikatakan bahwa pluralisme merupakan suatu faham tentang kemajemukan yang mana terdapat beraneka ragam ras dan agama yang hidup berdampingan dalam suatu   lokasi.   Di   sini   pluralisme   tidak   hanya sekedar hidup berdampingan tanpa mempedulikan orang  lain.  Hal  itu  membutuhkan  ikatan, kerjasama, dan kerja yang nyata. Ikatan komitmen yang paling dalam, perbedaan yang paling mendasar dalam menciptakan masyarakat secara bersama-sama menjadi unsur utama dari pluralism.


        Setelah mengetahui berbagai definisi pluralisme, maka akan didapat pengertian pluralisme agama adalah suatu sikap membangun tidak saja kesadaran normatif teologis tetapi juga kesadaran sosial, di mana kita hidup di tengah masyarakat yang plural dari segi agama, budaya, etnis,  dan  berbagai  keragaman  sosial  lainnya. Selain itu, pluralisme agama juga harus dipahami sebagai pertalian sejati dalam kebhinekaan.
Menurut   Nurcholis   Madjid,   pluralism agama dapat diambil melalui tiga sikap agama:
a. Sikap eksklusif
Dalam melihat agama lain. Sikap ini memandang agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan umat.
b. Sikap inklusif
Sikap ini memandang agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita.
c. Sikap pluralis
Sikap ini bisa terekspresikan dalam macam- macam rumusan, misalnya “agama-agama lain adalah  jalan   yang   sama-sama   sah   untuk mencapai kebenaran yang sama”, “agama- agama lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan kebenaran yang sama sah”, atau “setiap agama mengekspresikan bagian penting bagi sebuah kebenaran”.
Selanjutnya   menurut   Nurcholis   Madjid yang dikutip Rachman, mengatakan bahwa pluralisme agama tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, berdiri dari berbagai suku  dan  agama  yang  justru  hanya menggambarkan kesan fragmentasi bukan pluralisme. Pluralisme agama harus dipahami sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan- ikatan     keadaban     (genuine     engagement     of diversities within the bond of civility).


 Latar Belakang Munculnya Pluralisme Agama
Setelah dunia Islam menjadi negara-negaara merdeka pasca perang dunia I dan perang dunia II, ada beberapa masalah yang perlu tanggapan segera dari pemimpin dan tokoh umat Islam. Selain yang menyangkut hubungan antara Agama dan negara (din wan daulah), ada pula masalah yang berhubungan dengan tatanan kelembagaan masyarakat termasuk partai   politik   dan   organisasi   masyarakat. Faktor tersebutlah salah satu yang melatarbelakangi munculnya pluralisme agama karena banyaknya konflik-konflik yang muncul setelah banyak perpecahan baik dalam Agama, budaya dan tatanan masyarakat itu sendiri.Sebagai  konsep  plural  yang  dapat  di  artikan sebagai   keanekaragaman   wacana   pluralisme   juga tidak terlepas dari konsep teologi agama karena didalamnya masih banyak membahas sisi agama dari sara’  semata  tanpa  memandang  wilayah  sosial  dan iptek yang telah berkembang di masa sekarang. Pada tataran Teologis, dalam pendidikan agama perlu mengubah paadigma teologis yang pasif, tekstual dan eksklusif. Menuju teologi yang saling menghormati, saling mengakui eksistensi, berfikir dan bersikap positif, serta saling memperkaya iman. Hal ini dengan tujuan  untuk  membangun  interaksi  umat  beragama dan antar umat beragaama yang tidak hanya berkoeksistensi  secara  harmonis  dan  damai,  tetapi juga bersedia aktif dan pro aktif bagi kemanusiaan.
Yang melatar belakangi kemunculan pluralisme memang tidak terlalu jauh membahas tentang keanekaragaman dan konflik internal agama. Dalam pergaulan antar agama dewasa ini, memang semakin hari semakin merasakan intensnya pertemuan agama- agama itu. Pada tingkat pribadi, sebenarnya hubungan antar  tokoh-tokoh  agama  di  Indonesia  pada khususnya, kita melihat suasana yang semakin akrab, penuh toleransi, dengan keterlibatan yang sungguh- sungguh dalam usaha memecahkan persoalan- persoalan hubungan antar agama yang ada di dalam masyarakat. Tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari agama itu muncul kebingungan- kebingungan, khususnya menyangkut bagaimana kita harus mendefinisikan diri di tengah agama-agama lain yang   juga   eksis   dan   punya   keabsahan.   Dalam persoalan ini di diskusikanlah apakah ada kebenaran dalam agama lain yang implikasinya adalah berakar dalam pertanyaan teologis yang sangat mendasar. Faktor  tersebutlah  yang  paling  utama melatarbelakangi munculnya pluralisme.
Sebab-sebab lain lahirnya teori pluralisme banyak dan  beragam,  sekalipun  kompleks.  Namun  secara umum dapat di klasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal, yang mana antara satu faktor dan faktor lainnya saling mempengaruhi dan saling berhubungan erat. Faktor internal merupakan faktor yang timbul akibat tuntunan akan  kebenaran  yang  mutlak  (absolute  truthclaims) dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah akidah,  sejarah  maupun  dalam  masalah  keyakinan atau doktrin. Faktor ini sering juga di namakan dengan faktor ideologis. Adapun faktor yang timbul dari luar dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu factor sosio-politis dan faktor ilmiah.

a.   Faktor ideologis (internal).
Faktor internal di sini yaitu mengenai masalah teologi. Keyakinan seseorang yang serba mutlak dan absolut dalam apa yang di yakini dan di imaninnya merupakan hal yang wajar. Sikap absolutisme agama tak ada yang mempertentangkannya  hingga  muncul  teori tentang relativisme agama. Pemikiran relativisme ini merupakan sebuah sikap pluralisme terhadap agama. Dalam konteks ideologi ini, umat manusia terbagi menjadi dua bagian, yang pertama mereka yang beriman dengan teguh terhadap wahyu langit atau samawi, sedangkan kelompok yang kedua mereka yang tidak beriman kecuali hanya kepada kemampuan akal saja (rasionalis).
b.   Faktor Eksternal
Di samping faktor-faktor internal tersebut di atas tadi, terdapat juga dua faktor eksternal yang kuat  dan  mempuyai  peran  kunci  dalam menciptakan iklim yang kondusif dan lahan yang subur bagi tumbuh berkembangnya teori pluralisme.
Kedua faktor tersebut adalah faktor sosio-politis dan faktor ilmiah:
1)  Faktor Sosio-Politis
Dimana  faktor  yang  mendorong munculnya teori pluralisme agama adalah berkembangnya wacana-wacana sosio politis, demokratis dan nasionalisme yang telah melahirkan  sistem  negara-bangsa  dan kemudian mengarah pada apa yang dewasa ini di kenal dengan globalisasi, yang merupakan hasil  praktis  dari  sebuah  proses  sosial  dan politis yang berlangsung selama kurang lebih tiga abad.
2)  Faktor Keilmuan atau Ilmiah
Pada hakikatnya terdapat banyak faktor keilmuan yang berkaitan dengan pembahasan ini. Namun yang memiliki kaitan langsung dengan timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah maraknya studi-studi ilmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering juga   di   kenal   dengan   studi   perbandingan agama. Evolusi politik dan ekonomi teleh memberikan  pengaruh  yang  sebanding terhadap evolusi sosial budaya begitu juga sebaliknya. Di antara keduanya terdapat hubungan    implikatif    dan    timbal    balik. Terlepas dari motifasi dan tujuan yang ada dibaliknya kajian ini telah berkembang begitu cepat baik dalam metodologi maupun materinya, sehingga memungkinkannya untuk membuat   penemuan-penemuan,   tesis,   teori, kesimpulan-kesimpulan dan pengayaan yang baru.
Dengan   kata   lain   peran   penting   studi agama modern  adalah  sebagai  supplier   para filosof agama dan teolog dengan pengetahuan
– pengetahuan dan data – data lengkap yang dapat   membantu   peran   dan   tugas   utama mereka, yakni memahami hakikat agama. Dari presentasi dan analisis ini dapat kita lihat pengaruh yang jelas dari kajian – kajian “ilmiah” perbandingan agama dalam perkembangan teori- teori pluralisme agama.
Akhirnya, sampai batas tertentu dapat disimpulkan, bahwa munculnya gagasan pluralisme  agama  modern  dengan  berbagai tren dan bentuknya, memberi gambaran fakta yang telanjang betapa besarnya usaha Barat yang liberal dan sekuler untuk menjadi dominandan hegemonik bahkan dalam pemikiran dan teologi keagamaan. Sekulerisme yang kini mendominasi peradaban Barat telah berhasil mengubah kristen untk menyebarluaskan gagasan pluralisme agama (apakah mereka sungguh – sungguh menerimanya  atau  tidak,  perkara  lain  lagi).

Tujuan Pluralisme Agama
Melalui pluralisme kita diantarkan pada penciptaan perdamaian dan upaya menanggulangi konflik yang akhir-akhir ini marak baik di luar negeri maupun di Indonesia sendiri, sebab nilai dasar dari pluralisme adalah penanaman dan pembumian nilai toleransi, empati, simpati, dan solidaritas  sosial.  Akan  tetapi  untuk merealisasikan tujuan pluralisme seperti itu, perlu memperhatikan konsep unity in diversity dengan menanamkan kesadaran bahwa keragaman dalam hidup sebagai suatu kenyataan dan memerlukan kesadaran bahwa moralitas dan kebijakan bisa saja lahir (dan memang ada) dalam konstruk agama- agama lain. Tentu saja penanaman konsep seperti ini  dengan  tidak  mempengaruhi  kemurnian masing- masing agama yang diyakini kebenarannya oleh kita semua.
Dalam  hal  ini  beberapa  tokoh menyebutkan tujuan   pluralisme dalam berbagai pendapatnya antara lain: Menurut Jalaluddin Rahmat tujuan pluralisme agama ialah untuk menegaskan unsur asasi yang mempersatukan semua agama dan menjadi syarat untuk memperoleh pahala Allah. Selanjutnya Abdurrahman Wahid pluralisme bertujuan untuk mempertahankan atau penyatu dan perekat suatu negara. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan pengembangan konsep pluralisme.
Di samping itu pluralisme juga bertujuan  menghormati  perbedaan,  karena semakin  mengeratkan  nilai  pluralisme (keragaman) yang di yakini oleh seseorang. Maka dengan itu,  muncul sikap menghormati keyakinan agama lain sehingga tercipta perdamaian abadi dan saling menghormati antarumat beragama, bangsa, dan antar manusia. Sedangkan Nurcholis Madjid yang dikutip Nur Khalik Ridwan mengatakan bahwa pluralisme bertujuan mendekonstruksi absolutisme, menegaskan  relativisme  dan  membumikan toleransi setiap perbedaan, heterogenitas dan kemajemukan bukan hanya dianggap sebagai fakta yang harus diakui, tetapi kemajemukan dilihat dan diperlakukan sebagai bentuk positivisme, bukan negativisme.
Dari pemaparan di atas terlihat jelas bahwa tujuan  pluralisme  agama  adalah  pluralisme sebagai alat untuk penyatu dan perekat suatu negara, baik itu dari golongan bawah, menengah maupun golongan atas. Di samping itu seorang pluralis yang mengusung pluralisme dengan cara- cara pluralisasinya harus mengakui dan menjaga adanya  perbedaan,  kemajemukan,  dan heterogenitas ini untuk dijadikan hal yang bermanfaat.

Tantangan Pluralisme Agama
Dalam sebuah aliran, gerakan, organisasi, ataupun sebuah paham tetulah mempunyai sebuah tantangan, begitu pula dengan pluralisme agama yang tidak asing lagi. Secara jujur harus diakui bahwa pemahaman dan sekaligus kesadaran sebagian kaum muslimin di Indonesia terhadap pluralisme masih mengalami kesenjangan yang sangat jauh. Pluralisme masih diposisikan   sebagai   musuh   bersama   atas   nama ’agama’ yang harus dilenyapkan dari segenap nalar kaum muslimin. Hal ini dikarenakan pluralisme dipandang sebagai satu paham yang mengarah pada praktik penghancuran terhadap batas-batas agama, dan akibat   lanjutannya   adalah   kabur   atau   hilangnya identitas agama.
a. Tantangan Indonesia
Indonesia merupakan negara yang kaya akan ‘warna’etnis, bahasa, budaya, dan agama. Dalam kondisi masyarakat majemuk itu, tentu sangat rentan terjadinya perpecahan bangsa. Guna menjaga   persatuan   dan   kesatuan,   diperlukan perekat  yang  kuat  yang  mampu mengantisipasi dan menyelesaikan berbagai masalah yang timbul. Indonesia memiliki pancasila yang disepakati mewadahi dan melindungi kelestarian kemajemukan tadi, sehingga diharapkan ia dapat menjadi perekat yang kuat bagi keutuhan bangsa.
Namun dalam kenyataan, pancasila belum sepenunya dijadikan sebagai perekat bangsa, terbukti masih ada konflik bahkan kerusuhan yang berlatar belakang kesukuan, pertikaian antar golongan atau partai politik, dan konflik yang berlatar belakang perbedaan agama yang masih terjadi dimana-mana. Selain itu, sering pula terjadi perlakuan diskriminatif dan dominasi mayoritas terhadap minoritas, atau penindasan yang kuat terhadap yang lemah. Apapun alasannya, jika hal itu terjadi, persatuan bangsa akan sulit dipertahankan. Itulah sebabnya, di sini diperlukan kearifan dan kesadaran dari berbagai pihak, demi keutuhan  dan  persatuan  bangsa  yang  majemuk seperti Indonesia ini.
Sampai   saat   ini   pula   masih   menjadi momok yang menakutkan bagi kalangan masyarakat    Indonesia    pasca-keluarnya    fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) keragaman yang semestinya dapat mendorong kita pada kehidupan yang harmonis, justru diciderai oleh fatwa yang tidak bertanggungjawab tersebut. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebelum fatwa MUI tersebut, kehidupan masyarakat beragama yang relatif harmonis, tiba-tiba berubah menjadi ketegangan yang pada akhirnya berbuah konflik di mana-mana, seperti di Ambon, Poso, dam Maluku. Konflik tersebut juga tidak menutup kemungkinan di  tahun-tahun  mendatang  akan  terus  menjadi ancaman sekaligus tantangan agama-agama.Berdasarkan pemaparan di atas, tantangan pluralisme  yang  ada  di  Indonesia  adalah bersumber   dari   tokoh   masyarakat   itu   sendiri (MUI) yang tidak setuju dengan adanya pluralisme agama yaitu dengan mengeluarkan fatwanya yang secara tegas melarang adanya pluralisme agama. Justru dengan adanya fatwa tersebut menjadi pemicu awal konflik yang terjadi di mana-mana.

Kontroversi Pluralisme Agama
a) Pro pluralisme
para cendikiawan muslim Indonesia telah terlibat dalam sejumlah diskursus tentang Islam dan pluralisme. Bertolak dari pandangan bahwa Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah), yang berarti cita-citanya sejajar dengan cita-cita kemanusian universal, Nurcholis Madjid berpendapat bahwa cita-cita keislaman sejalan dengan cita-cita manusia Indonesia pada umumnya. Ini adalah salah satu pokok ajaran Islam. Oleh karena itu sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat Islam, tetapi juga membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat.
Dengan kata lain diperlukan sistem yang menguntungkan semua pihak, termasuk mereka yang non-muslim. Hal ini papar Nurcholis sejalan dengan watak inklusif Islam. Indonesia. Menurutnya, pandangan ini telah memperolah dukungan dalam sejarah awal Islam. Nurcholis menyadari bahwa masarakat Indonsesia sangat pluralistik dari segi entnis, adat-istiadat, dan agama. Dari segi agama, selain Islam, realitas menunjukan bahwa hampir semua agama,khususnya agama-agama besar dapat berkembanag subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Oleh sebab itu masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi sangat penting. Nurcholis optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini, Islam telah membuktikan kemampuannya secara menyakinkan.
Fakta bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan aspirasi terhadap pluralisme, sangat kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula mencerminkan tekad dari berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam titik kesamaan (comon platform) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia memiliki pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragamaan, aliran politik dan keagaman, sejak zaman pra kemerdekaan sampai sesudahnya. Nurcholis melihat ideologi negara Pancasilalah yang telah member kerangka dasar bagi masyarakat Indonesia dalam masalah pluralism keagamaan.
Sementara itu Abdurrahman Wahid juga melihat hubungan antara Islam dengan pluralisme dalam konteks manifestasi universalisme dalam kosmopolitanisme ajaran Islam. Menurutnya, Islam ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme. Adalah lima jaminan dasar yang diberikan Islam kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar tersebut adalah :
(1) Keselamatan Fisik warganegara
(2) keselamatan keyakinan agama masing-masing,
(3) Keselamatan keluarga dan keturunan,
(4) Keselamatan harta benda dan milik pribadi, dan
(5) Keselamatan profesi.
Dalam konteks masayarakat Indonesia yang pluralistik ini, Abdurrahman mengharapkan agar cita-cita untuk menjadikan Islam dan umat Islam sebagai “pemberi warna tunggal” bagi kehidupan masyarakat disamping. Ia juga menolak jika Islam djadikan “alternatif” terhadap kesadaran berbangsa yang telah begitu kuat tertanam dalam kehidupan masyarakat Islam sebaiknya menempatkan ciri sebagai faktor komplementer, dan bukan mendominasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian format perjuangan Islam pada akhirnya partisipasi penuh dalam upaya membentuk Indonesia yang kuat, demokratis, dan penuh keadilan. Tujuan akhinya adalah mengfungsikan Islam sebagai kekuatan integrative dalam kehidupan berbangsa.
b) Kontra pluralisme
Berbeda dengan dua tokoh di atas, yang melihat pergumulan Islam dengan pluralisme dalam perspekktif substansi ajaran Islam, Kuntowijoyo lebih mengaitkannya dengan setting sosial budaya. Bagi Kunto peradaban Islam itu sendiri merupakan sistem yang terbuka. Artinya peradaban Islam menjadi subur di tengah pluralis budaya dan peradaban dunia. Meskipun demikian peradaban dan kebudayaan Islam juga bersifat orsinil dan otentik, yang mempunyai ciri dan kepribadian tersendiri. Kunto berpendapat bahwa umat Islam dapat menerima aspek- aspek positif dari ideologi atau paham apapun, tetapi pada saat yang sama, perlu didasari bahwa Islam itu otentik, memiliki kepribadian yang utuh dan sistem tersendiri. Dalam konsteks Indonesia, Kunto berpendapat bahwa umat Islam, terutama cendikiawannya, harus dapat memadukan kepentingan nasioanal dan kepentinagan Islam.
Kaitannya dengan kehidupan beragama di Indonesia, Kunto menawarkan dua persoalan untuk dicermati, yaitu solidaritas antar agama dan pluralisme positif. Mengenai solidaritas, ada dua tahap yang menentukan kemajuan dalam hubungan antar agama, yaitu dari kerukunan menuju kerja sama. Kemajuan itu adalaah dari inward looking (meliahat ke dalam) ke outward looking (melihat keluar). Setelah adanya rangkaian “kesalahpahaman” di antara pemeluk-pemeluk agama di Indonesia, pada waktu menteri agama dijabat oleh Mukti Ali (1970). Istilah kerukunan antar umat beragama mulai digulirkan. Sejak saat itu terjadi perdebaatan mengenai makna dan praktek toleransi, apakah toleransi itu dikenakan kepada mayoritas atau minoritas. Kesimpulan di atas kertas selalu kedua-duanya, tatapi di lapangan, kerukunan tidak pernah terjadi. Ketakutan akan Kristenisasi di daerah Islam dan Isalmiasasi di daerah kristen saling menghantui kedua belah pihak, dan ini tidak menguntungan bagi upaya menciptakan kerukunan. Pada tahun 1970-1990 kerukunan tidak pernah terjadi dalam praktek kehidupan masyarakat Indonesia.
Hal ini terjadi ,menurut Kunto,karena masing-masing agama melihat ke dalam (inward lokking). Solidaritas yag betul-betul terjadi pada tahun 1990-an, dengan tema baru, bukan lagi dialog antar agama, tetapi out ward looking yaitu memikirkan bersama bangsa ini. Itulah yang terjadi dalam forum-forum cendekiawan umat beagama. Pluralisme positif adalah kaidah bersama yang ditawarkan Kunto dalam hubungan antar agama. Kaidah ini diperlukan agar tidak terjadi hubungan berdasarkan prasangka. Kaidahnya adalah bahwa  selain agama sendiri ada agama lain yang harus dihormati (pluralisme), dan masing-masing agama harus tetap memegang teguh agamanya. Pluralisme menjadi negative apabila orang mengumpamakan agama seperti baju, yang dapat diganti-ganti semaunya. Pluralisme positiflah yang dipraktekkan Rasul di Madinah. Senada dengan Kuntowijoyo, Alwi Sihab menyatakan bahwa apabila konsep pluralisme agama hendak diterapkan di Indonesia, maka harus ada satu syarat, yaitu komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing. Seorang pluralis, dalam berintraksi dengan aneka ragam agama, tidak saja dituntut untuk membuka diri, belajar, dan menghormati mitra dialognya, tetapi juga harus commited terhadap agama yang dianutnya. Hanya dengan sikap demikianlah kita dapat menghindari relativisme agama yang tidak sejalan dengan konsep Bhineka Tunggal Ika.

Kesimpulan
1.  Pluralisme dapat diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran, peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman, setidaknya menurut logika para pengikutnya.
2.  Gagasan pluralisme merupakan ide yang berhubungan erat dengan sekulerisme yang memandang bahwa agama harus dipisahkan dalam kehidupan publik.





Daftar Pustaka

Punk. Zie. ”Islam dan Pluralisme diIndonesia”http://agama.kompasiana.com/2010/07/10/islam-dan-pluralisme-di-indonesia/ Senin,7 November 2012.
Zacky. Abah. “Pluralisme Agama Dalam Pandangan Islam.“http://www.muslimdaily.net/artikel/studiislam/pluralisme-agama-dalam-pandangan-islam.html. Senin, 7 November 2012.

No comments: